Sabtu, 25 Agustus 2012

LIONTIN PUSAKA KERAJAAN PERI (FAN FICTION)

Hari itu cerah sekali. Rumput-rumput dan semak bunga musim semi bermekaran di Desa Marygold. Trio Badung Desa Marygold, yaitu Radom, Docio, dan Sota, sama sekali tidak mempedulikan bunga-bunga cantik itu. Apalagi Radom. Baginya asyik sekali menebaskan tongkat ke semak-semak atau menginjak bunga.
Tak dihiraukannya teriakan Pak Bod, ayah Radom, memintanya membantu di ladang. Diacuhkannya seruan Bu Brittle, ibu Radom, yang menyuruh Radom mencuci piring bekas sarapan. Radom terus berlari besama Docio, dan Sota yang juga kabur dari tugas rumah mereka.
Tiba-tiba langkah Trio Badung itu berhenti.
“Radom, lihat, tuh… si Aneh Hana!” bisik Docio.
Mereka sudah sampai di pondok tengah hutan, tempat Hana dan Nenek Ruby tinggal. Mereka itu pendatang baru di Desa Marygold.
Di depan pondok, tampak Hana sedang merawat kebun tomatnya. Hana seumuran dengan Radom dan kawan-kawannya, tetapi Hana tidak pernah mau bermain bersama mereka. Dia lebih suka sibuk sendirian di tengah hutan. Pokoknya, menurut Radom, sama sekali enggak seru!
Nenek Ruby juga sama saja. Selalu menyendiri. Padahal penduduk Desa Marygold sudah berusaha mendekatinya. Soalnya hasil panen sayur dan buah-buahan Nenek Ruby selalu paling bagus. Namun, karena Nenek Ruby selalu diam dan tidak ramah, mulailah desas-desus, bahwa Nenek Ruby itu nenek sihir. Makanya panennya selalu bagus.
“Hana,” Nenek Ruby muncul dari pintu pondok. Tubuhnya kurus, wajahnya penuh kerutan, rambutnya putih kusut.
“Nenek Sihiiir! Nenek Sihiiiir!” seru Radom, Docio, dan Sota serempak. Tangan mereka sibuk melempar buah-buahan yang berjatuhan di dekat mereka ke arah Nenek Ruby.
“Kalian!” geram Nenek Ruby, mengalihkan pandangannya ke Radom, Docio, dan Sota.
Tentu saja ketiga anak nakal itu tak menunggu lama. Mereka langsung lari sambil berseru riang, seenaknya menerabas semak yang baru mau tumbuh, mematahkan ranting-ranting, menginjak bunga-bunga.
Begitulah hari-hari berlalu di Desa Marygold. Setiap hari Radom, Docio, dan Sota bermain di hutan.
Suatu hari, saat sedang bermain, Radom ingin buang air kecil. Ia memisahkan diri dari Docio dan Sota. Ia berjalan menyusuri jalan yang tadi dilaluinya bersama teman-temannya. Tampak semak-semak rusak di sepanjang jalan. Namun, Radom tidak mengacuhkannya.
Tiba-tiba terdengar suatu suara bisik-bisik misterius dari arah suatu semak. Bisik-bisik itu mengalun seperti nyanyian. Aneh sekali. Ada perasaan tenang dan damai mendengar suara nyanyian itu. Karena penasaran, Radom mengintip ke baliknya. Wah, pemandangan di baliknya benar-benar mengejutkan.
Radom melihat Hana berlutut di samping semak mawar liar yang tadi dia injak. Mata Hana terpejam, bibirnya melantunkan bisikan nyanyian misterius itu. Tangannya menyentuh kelopak-kelopak mawar.
Tiba-tiba sraaaattt! Keajaiban terjadi! Telapak tangan Hana mengeluarkan cahaya. Cahayanya meliputi semak rusak itu. Akar-akar yang tercabut masuk kembali ke dalam tanah, ranting-ranting patah tersambung kembali, kelopak-kelopak layu kembali mekar sempurna. Bahkan, mawar itu kini mengeluarkan harum yang lebih semerbak.
Melihat itu, hanya satu kata yang terlintas dalam pikiran Radom.
“Pe… penyihiiiiirrr!” seru Radom. Hana terkejut mendengar seruannya.
Radom berlari meninggalkan Hana. Kali ini, tak ragu lagi, Nenek Ruby dan Hana itu penyihir.  Ia akan segera memberi tahu Kepala Desa, biar ia mengusir Nenek Ruby dan Hana dari Desa Marygold.
Namun, aaah! Radom malah terperosok ke dalam lubang yang dulu pernah ia gali bersama Docio dan Sota.
“Aduh… kakiku…,” rintih Radom.
Suatu bayangan menimpa di atasnya. Radom menengadahkan kepalanya. Aaaahh!! Hana datang mengejarnya!
“Ja… jangan… jangan sihir aku jadi kodok,” pinta Radom terbata-bata. Ia takut sekali. Apalagi mengingat selama ini dia dan teman-temannya sering sekali meledek Nenek Ruby. Dibayangkannya berbagai kemungkinan buruk. 
Saking takutnya, Radom mulai merasa celananya basah. Ya ampun, Radom, pemimpin Trio Badung Desa Marygold mengompol di celana! Bagaimana ini?
  “Minta maaf dulu! Janji, jangan lagi mengganggu aku dan Nenek Ruby!” tukas Hana.
“I… iya, maaf yaa…Aku janji…”
“Janji juga, jangan merusak tanaman di hutan. Hati-hati kalau main di sini!” tegas Hana lagi.
“Kami tid…” tadinya Radom hendak membantah, tetapi tiba-tiba ia sadar itu benar. Ia, Docio, dan Sota sering menerebas semak dengan kasar sampai semak-semak itu rusak.
“Baiklah,” janji Radom akhirnya.
Hana tersenyum. Ia mengucapkan sesuatu dan wuutt…wuuut… wuuutt… suatu sulut muncul dan menjuntai masuk ke dalam lubang.
“Pegang erat-erat sulur itu,” perintah Hana.
“Uuh…” Radom malah meringis. Antara masih sedikit takut dengan Hana dan sulur itu, serta malu melihat celananya yang basah. Apa kata Hana nanti? Lebih parah lagi, apa kata Docio dan Sota?
“Hi hi hi… kamu mengompol yaaa?” goda Hana terkikik. Sulur yang menjulur ke lubang juga ikut terangguk-angguk seperti tertawa.
Huh! Radom cemberut.
“Begini saja. Aku janji enggak akan cerita kalau kamu mengompol. Tapi kamu juga janji, ya, jangan cerita-cerita kalau aku bisa mengendalikan tanaman,” ujar Hana sambil tersenyum tulus. Ia mengulurkan jari kelingkingnya.
Tak ada cara lain. Terpaksa Radom menyambut jari kelingking itu. Mereka saling mengaitkan jari kelingking tanda janji.
Syuuuutt! Sulur melingkari pinggang Radom dan mengangkatnya ke atas. Dengan baik hatinya, sulur itu juga menutupi bagian celana Radom yang basah.
“Ternyata kamu penyihir yang baik,” ucap Radom tersipu. Betapa salahnya ia selama ini menilai Hana.
Hana tersenyum.
“Aku bukan penyihir, tetapi aku memang berbeda dari anak lain. Aku ini Peri Tumbuhan. Aku punya kekuatan mengendalikan tanah. Aku bisa menghidupkan kembali tanaman layu. Namun, itu harus dirahasiakan. Makanya aku tidak berani berteman dengan anak lain.”
“Lo, kenapa dirahasiakan? Itu, kan, hebat! Ayo kita ke desa, kau buat panen penduduk jadi bagus, sebagai gantinya kita suruh mereka bayar! Pasti banyak uang kita nanti!” usul Radom penuh semangat.
“Sssttt! Tidak bisa! Itu namanya memanfaatkan kekuatan demi uang! Lagi pula…” suara Hana terdengar ragu.
Ia menoleh kiri kanan sebelum melanjutkan ucapannya.
“Aku bisa celaka kalau kekuatanku diketahui. Ada yang mengejar aku demi mendapatkan kekuatanku!” jawabnya cepat-cepat.
“Apa? Siapa yang mau mencelakakanmu?” tanya Radom terkejut.
“Sudahlah. Itu masalahku. Yang penting, aku lega sudah membagi rahasia ini dengan orang lain,” jawab Hana.
“Pokoknya, kalau ada yang mencelakakanmu, ia harus berhadapan denganku Grovel Radom Bodbrittle, Pemimpin Trio Badung Desa Marygold!” jawab Radom berapi-api, membuat Hana tersenyum.
 “Sudah, pulanglah. Nanti kamu masuk angin, celana basah begitu hi hi hi… Kalau nanti ketemu musuhku, bawa celana ganti, ya. Siapa tahu mengompol lagi ha ha ha!” goda Hana sambil berlari masuk hutan, meninggalkan Radom yang ikut tertawa.
Sejak hari itu Radom dan Hana bersahabat. Hana memang tidak pernah bermain bersama Trio Badung Desa Marygold. Namun, setiap pagi, Radom melihat halaman rumahnya dipenuhi aneka bunga. Itu bukti persahabatan dari Hana.
Sebagai gantinya, Radom meminta teman-temannya berhati-hati jika bermain di hutan. Ia juga suka diam-diam meletakkan dua botol susu hasil perahan sapinya di depan pondok Hana dan Nenek Ruby. Semua berjalan dengan damai dan indah di Desa Marygold.
Sampai suatu ketika, saat sedang bermain bola, rumput-rumput di depan Radom tumbuh tinggi dengan cepat. Rumput-rumput itu meliuk-liukkan tubuh mereka seperti panik. Radom menoleh dan melihat semak-semak juga bergerak-gerak panik.
Tiba-tiba wuuuuttt… sejalur rumput di depannya berubah warna menjadi kelabu. Jalur itu panjang seperti membentuk jalan setapak berwarna kelabu, masuk ke bagian tergelap hutan.
“Waduh apa ini? Jangan-jangan… ada apa-apa dengan Hana!” gumam Radom. Dengan agak ragu, Radom mengikuti jalan kelabu itu.
Musuh Hana adalah Peri Gwenda, bibinya sendiri.Peri  Gwenda ingin menguasai kelima potongan liontin pusaka kerajaan peri. Nenek Ruby meminta Radom pergi mengumpulkan kelima potongan liontin dan menggunakannya untuk mengalahkan Peri Gwenda. Radom meringis ketakutan. Duh, kok susah sekali, ya…

                Radom menggaruk kepalanya bak kena serbuan kutu.
                Tiba-tiba suatu sulur menjulur masuk ke dalam jendela dan melilit pergelangan tangan Radom. Radom jadi teringat pada sulur yang dipakai Hana untuk menolongnya naik dari lubang dan kebaikan hati Hana saat itu.
                “Baiklah, aku akan mencoba menolong Hana,” janji Radom penuh tekad, padahal dalam hati deg-degan setengah mati.
                “Terima kasih, Nak! Ini bawalah potongan liontin Hana. Sayang, kau tidak bisa memakai kekuatannya. Jaga baik-baik, ya,” pesan Nenek Ruby.
                Nenek Ruby mengajak Radom keluar pondok sambil membawa suatu botol berukuran kecil berisi serbuk kelap-kelip. Di luar ia mengucapkan suatu mantra sambil melempar isi botol itu ke arah langit.
  Jgeeeeeerrr!! Tiba-tiba langit menggelap, kilat dan halilintar menyambar-nyambar. Terkaget-kaget Radom dibuatnya. Hyuuuuuuuu!! Angin puting beliung terbentuk di horizon dan berputar-putar menuju tempat Radom dan Nenek Ruby berdiri.
“Masuklah ke dalam angin putting beliung itu. Angin itulah yang akan membawa kamu ke desa Gania, si Peri Angin,” ucap Nenek Ruby.
  “Ha? Mmma… mas… masuk ke angin puting beliung?” Radom memucat. Angin putting beliung itu sudah dekat sekali. Begitu kencang berputar menderu-deru.
“Iya! Pergilah!” Nenek Ruby setengah mendorong Radom ke arah angin.
“Lo? Nenek tidak ikut?” Radom berusaha berpegangan ke Nenek Ruby melawan tarikan angin yang hendak membawanya masuk ke dalam pusarannya.
“Tentu tidak. Nenek, kan, sudah tua. Beda dengan kamu yang masih muda. Hati-hati, ya!”
                “Wuaaaahhh… kenapa Nenek tidak bilang kalau Nenek tidak ikuuuut! Aku, kan,… Aaaaaaahh!” pekikan panik Radom terpotong. Radom masuk ke dalam pusaran angin puting beliung dan ikut berputar-putar.
                Bluk! Tiba-tiba Radom dijatuhkan angin puting beliung itu di suatu desa, lalu angin itu menderu pergi meninggalkan Radom. Radom duduk sambil mengusap-usap kepalanya.
                Wuutt… wutt… Sulur Hana yang melilit di pergelangan tangan Radom ikut mengusap-usap kepala Radom, seakan memberi penghiburan. Radom tersenyum.
                “Terima kasih,” kata Radom, bersyukur ditemani sulur Hana itu. Entah apa kata teman-temannya di Desa Marygold, melihat dia mengucapkan terima kasih kepada sulur.
                Radom melihat ke sekelilingnya. Dia berada di sebuah desa yang amat dingin. Rumah penduduknya berselimut salju tebal.
                Wooouuuusshh!! Woouuuuusssshhh!
“Hwaaaa!”  Olala… Angin kencang bertiup, Radom sampai terlempar. Sulur di pergelangan tangannya tiba-tiba memanjang dan mengaitkan diri ke sebuah tiang pondok, menahan tubuh Radom agar tidak tertiup angin.
“Hei, anak muda! Mau mati beku di situ? Ayo, masuk ke sini!” panggil nenek pemilik pondok.
Radom masuk ke dalam pondok itu. Di dalam pondok nyaman sekali. Api di perapian mengepul hangat.  
“Maafkan angin kencang itu, Nak. Itu perbuatan cucuku, Gania.”
“Ha? Gania?” Radom terperanjat mendengarnya.
Nenek yang ternyata bernama Nenek Giok itu adalah nenek yang membesarkan Gania di bumi. Celakanya, Gania  tidak tumbuh menjadi anak manis seperti Hana. Dia malah menjadi anak pembangkang dan susah diatur. Gania seenak-enaknya memakai kekuatannya. Semakin banyak orang yang takut dengan angin buatannya, semakin senang dia.
Radom menelan ludah mendengarnya. Diceritakannya tujuan kedatangannya ke desa itu kepada Nenek Giok dan meminta bantuannya.
Nenek Giok hanya tersenyum sedih. Gania sama sekali tidak bisa diatur. Dia bahkan tidak menjawab panggilan Nenek Giok. Padahal Nenek Giok yang dulu susah payah merawatnya. Menurut Nenek Giok hanya ada satu cara. Radom harus merebut potongan liontin itu secara paksa sebelum Peri Gwenda.
Radom menghela nafas. Perjalanannya ini sama sekali tidak mudah rupanya!
 “Merebut secara paksa bagaimana, Nek? Aku, kan, enggak punya kekuatan apa-apa!” kata Radom cemas. Bayangkan! Merebut potongan liontin dari peri penguasa angin!
“Coba kamu berteman dulu dengannya sampai dia mau memberi tahu tempat ia menyimpan potongan liontinnya. Nanti, saat dia lengah, kamu rebut potongan liontin itu,” saran Nenek Giok.
“Ide bagus, Nek!” seru Radom serta merta.
Tak sampai sejam kemudian, Radom sudah sampai ke puncak bukit. Nenek Giok yang memberi tahu Radom kalau Gania suka bermain sendirian di puncak bukit itu. Sepanjang perjalanan Radom sudah memikirkan cara agar Gania mau berteman dengannya.
Wuuusshh! Angin kencang bertiup berputar-putar. Radom berlagak cuek. Sebetulnya, sih, agak takut juga, tetapi angin sebesar itu tidak sebanding dengan angin puting beliung yang membawanya ke desa Gania.
Hyuuuuuuuuuuuuuuuuunggg!!! Angin semakin kencang, tetapi Radom malah menguap dan pura-pura tertidur di tengah deru angin.
Akhirnya Gania menyerah. Dari dalam pusaran angin, muncul gadis seusia Hana dengan baju berwarna kehijauan, lembut melambai-lambai. Wajahnya cantik, sayang sedang cemberut.
“Siapa kamu?” tanya Gania ketus.
“Aku Radom, pemimpin Trio Badung Desa Marygold,” sahut Radom gagah.
“Mau apa kamu di sini?” tanya Gania lagi.
“Yah… mau lihat-lihat sajaa… Kamu, ya, yang bikin angin ribut tadi itu? Boleh juga…” puji Radom dengan nada tidak acuh. “Kalau aku… Aku bisa membuatmu kegelian!” ucap Radom, bersamaan dengan itu sulur Hana meluncur dan menggelitik pinggang Gania.
Gania tertawa kegelian dan angin di sekitar mereka seperti ikut tertawa.
“Sudah! Sudah!” pekik Gania.
Radom meminta sulur Hana berhenti menggelitik Gania. Gania tersenyum. Mereka lalu berkenalan dan sejak itu berteman.
Gania yang sudah lama tidak punya teman senang sekali berteman dengan Radom. Itu terlihat sekali dari mata Gania yang bersinar-sinar saat bermain dengan Radom.
Tak butuh waktu lama, Gania mengajak Radom ke tempat rahasia. Pertama, mereka membiarkan tubuh mereka dikelilingi pusaran angin puting beliung. Lalu, di tengah angin itu muncul tangga yang mereka naiki bersama sampai langit ketujuh. Semakin ke atas angin semakin keras. Radom jadi semakin ketakutan.
“Hi hi hi… jangan pucat begitu, dong! Kalau kamu jatuh, aku akan menolongmu,” Gania tersenyum menenangkan.
“Kamu baik sekali kepadaku. Kenapa suka menakut-nakuti penduduk desa, sih?” tanya Radom penasaran.
Gania pun mulai bercerita kalau dia jadi pembangkang dan tidak mau diatur karena dia tidak punya teman di desanya. Nenek Giok terlalu melindunginya. Anak-anak di desa suka menjahilinya. Saat akhirnya dia bisa menggunakan kekuatan anginnya, Gania jadi semena-mena.
“Asyik sekali, deh, melihat mereka yang dulu suka menjahiliku jadi takut kepadaku!” kata Gania bangga.
Saat itu mereka sudah sampai di puncak angin. Tangan Gania meraih sebuah kotak emas berkilau dan membukanya. Tampak sebentuk potongan liontin berwarna hijau emerald.
“Inilah rahasia kekuatanku. Kalau tidak ada ini, aku tidak bisa menguasai angin. Huh! Anak-anak di desa pasti akan kembali menjahiliku,” ucap Gania sambil membelai liontin itu.
 “Wah! Hebat sekali liontin ini. Boleh aku memegangnya?” tanya Radom sambil menengadahkan tangannya.
Gania tampak ragu sebentar, tetapi lalu diulurkannya liontin itu ke tangan Radom.
“Boleh, deh. Kan, kamu temanku,” kata Gania sambil tersenyum.
Radom langsung terdiam. Tadinya tangannya sudah siap menyambar liontin Gania, tetapi mendengar ucapan Gania, Radom jadi tidak enak. Gania menganggapnya teman, padahal dia berteman dengan Gania, hanya karena ingin merebut liontinnya! Jahat sekali!
Radom menarik tangannya.
“Ada yang mau kuceritakan padamu,” ucap Radom. Lalu, mulailah Radom bercerita tentang Hana dan Peri Gwenda dan betapa dia sangat memerlukan potongan liontin Gania.
“Sekarang, terserah kamu… Mau memberikannya atau tidak. Jika tidak, demi melawan Peri Gwenda, aku terpaksa merebutnya. Tetapi kalau bisa, aku ingin memintanya baik-baik,” kata Radom mengakhiri ceritanya.
Gania tampak ragu, tetapi lalu diulurkannya potongan liontin itu.
“Ini. Aku tidak akan menakut-nakuti penduduk desa lagi. Jaga baik-baik, ya,” ujarnya.
Namun, tiba-tiba bayangan gelap muncul di belakang Gania. Astaga, Peri Gwenda! 
“Serahkan potongan liontin itu!” seru Peri Gwenda.
“Uh, enggak akan!” sahut Peri Gania. Ia melambaikan tangannya dan angin puting beliung menahan Peri Gwenda.
“Radom, cepat pergi! Bawa liontin ini!” perintah Peri Gania sambil menjejalkan potongan liontin dan sebuah botol. “Aku tak bisa lama-lama menahan Peri Gwenda. Kumpulkan potongan liontin lainnya dan kalahkan Peri Gwenda!”
“Ah… Te… tapi…” ucap Radom terbata-bata.
“Botol itu beri serbuk kelap-kelip. Sebarkan serbuk itu saat kamu terjun dari angin ini. Serbuk ini serbuk peri angin, pasti bisa membawamu ke desa Steackra Gold, tempat tinggal adikku, Mikaryu!”
“Ha? Terjun dari puncak puting beliung?” ulang Radom dengan mata membesar ngeri. Dilihat dari atas gulungan angin putting beliung itu begitu tinggi, berputar-putar, berwarna kelabu. Melihatnya saja Radom sudah mual, apalagi terjun ke dalamnya.
“Cepatlah!” desak Peri Gania. “Aku sudah tidak kuat lagi, aaaaahhhh!!!” sinar merah menembus angin yang meghadang Peri Gwenda dan mengenai bahu Peri Gania.
Tak ada pilihan lain, Radom terjun bebas ke dalam angin puting beliung. Rasanya tubuhnya seperti masuk mesin cuci. Terlempar ke sana ke mari.
Tangan Radom bergetar saat dia membuka tutup botol dari Peri Gania. Untung ada sulur Peri Hana. Sulur itu membantunya membuka tutup botol. Begitu serbuk kelap-kelip disebarkan di sekelilingnya, tubuh Radom terangkat dengan ringan. Pada saat itulah, ia melihat Peri Gania tertangkap oleh Peri Gwenda.
“Gania… Ah, aku pasti akan menyelamatkanmu. Kau dan Hana. Aku janji!” tekad Radom dalam hati.
Radom melayang terus sampai ke suatu desa dan akhirnya tersangkut di sebuah pohon tinggi. Radom melongok dari atas pohon dan amat terkejut. Di bawah pohon itu tampak sebuah desa kecil yang penuh pohon. Yang aneh, pohon-pohon itu tumbuh tak beraturan. Cabang-cabang pohon saling melilit, keluar masuk rumah yang terbuat dari kayu.
Radom menuruni pohon tinggi itu dan mengayunkan langkah masuk desa. Desa itu ternyata benar-benar aneh. Penuh dengan kayu-kayu yang tak beraturan, mengganggu jalan Radom.
“Cari siapa?” sapa suatu suara.
Radom mencari asal suara dan melihat seorang kakek sedang menebang kayu yang menghalangi sumur kayu di depan sebuah rumah kayu besar.
“Mencari Mikaryu, Kek,” jawab Radom.
“Mencari cucuku?” Kakek itu mengerutkan dahinya.
Kakek itu bernama Kakek Dorito. Seperti juga Nenek Giok dan Nenek Ruby, Kakek Dorito bertugas menjaga, mengasuh, dan mengajari para peri. Dengan segera, Radom menceritakan apa yang terjadi.
“Aku harus cepat-cepat mendapatkan potongan liontin Mikaryu, Kek. Tolong suruh Mikaryu menyerahkan potongan liontin itu kepadaku,” pinta Radom.
“Soal itu, kamu minta sendiri saja. Dia ada di dalam rumah. Namun, ingat, jangan duduk di atas kursi kayu di situ, ya,” jawab Kakek Dorito, lalu kembali menebang kayu.
Radom masuk ke dalam rumah besar. Rumah itu indah, penuh dengan kayu berukir-ukir. Namun, tidak ada siapa-siapa di situ.
Pohon-pohon rindang yang mengelilingi desa menjadikan suasana di situ terasa sejuk. Radom menguap. Dia merasa amat lelah. Tiba-tiba ia melihat sebuah kursi panjang dari kayu yang tampak nyaman. Kursi-kursi lain di ruangan itu bertonjolan akar dan ranting, tidak bisa diduduki, hanya kursi itu yang bisa. Di atas kursi itu tampak bantal-bantal dari dedaunan yang tampak empuk.
Radom melupakan larangan Kakek Dorito. Tak dipedulikannya juga sulur Hana yang menggeleng-geleng kuat, seperti mengingatkan. Radom berjalan mendekati kursi itu dan duduk. Kepalanya ia rebahkan di atas bantal dedaunan. Nyaman sekali, rasanya. Tak butuh waktu lama, Radom pun tertidur pulas.
“Mau apa kau duduk di situ!” suatu suara kasar membentaknya.
Radom membuka mata dengan terkejut. Di hadapannya ada peri cantik. Itulah Mikaryu.
“Aku ulang, mau apa kau duduk di situ?” tanya Mikaryu lagi.
“Aku… aku… huaaaaaaahhmmm…” Radom menguap lebar.
Tiba-tiba dia hanya merasa mengantuk dan malas. Ia tidak bisa mengingat apa yang ia lakukan di situ! Dia lupa sama sekali akan Hana, Gania, dan potongan liontin! Itulah sebabnya Kakek Dorito melarangnya duduk di kursi itu!
 “Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Mikaryu tajam.
Radom membalasnya dengan kuapan besar.
“Hoaaahheemmmm… aku mengantuk sekali. Kenapa kau ribut-ribut, sih?”
“Aku ribut-ribut karena kau duduk di kursiku,” jawab Mikaryu.
“Oooh… maaf. Aku lelah sekali tadi,” Radom menggeser posisi duduknya. “Ayo, duduklah di sini.”
Mikaryu memandang Radom yang sibuk meregangkan tubuh dan mengucek matanya. Mikaryu tersenyum. Ia duduk di samping Radom.
“Sepertinya kamu sama pemalasnya denganku. Asyik, dong, kita bisa bermalas-malasan berdua,” ujar Mikaryu. Ia menjentikkan jarinya, dan wuuuttt… kursi itu membelah menjadi dua. Masing-masing kursi sama besar dan nyamannya, bantal-bantalnya pun bertambah banyak.
“Wuaah keren sekali!” kagum Radom.
“Iya, dong. Aku, kan, peri penguasa kayu. Aku bisa mendapatkan semua yang aku mau hanya dengan menjentikkan jari,” ucap Mikaryu sambil menjentikkan jarinya.
Kali ini, tumbuh pohon kelapa di depan mereka. Dua butir kelapa muda jatuh dari pohon itu dan langsung terbelah. Wooow… terlihat begitu segar!
“Ayo, kita minum!” ajak Mikaryu.
Tanpa buang waktu Radom meminum habis air kelapa dan melahap daging buahnya.
Begitulah. Dengan kekuatan Mikaryu, Radom dan Mikaryu tidak perlu melakukan apa-apa. Radom pun jadi malas dan melupakan niatnya meminta potongan liontin Mikaryu.
Mikaryu bisa menyuruh pohon apa pun tumbuh di hadapan mereka untuk memenuhi kebutuhan mereka. Mikaryu memang menyalahgunakan kekuatannya. Makanya, di desa itu pohon-pohon tumbuh tak beraturan menyusahkan penduduk desa. Kakek Dorito sudah putus asa melihatnya!
Sulur Hana sedih melihat itu semua. Ia tak bisa tinggal diam.
Suatu hari, saat Radom sedang tertidur di atas kursi Mikaryu, sulur Hana menggelitik pinggang Radom sampai Radom tertawa keras dan terguling ke lantai dan tiiiing… dua buah potongan liontin Hana dan Gania terlempar dari saku Radom dan menyatu.
Kedua liontin itu memancarkan cahaya hangat. Cahaya itu menyentuh Radom dan Radom teringat akan persahabatannya dengan Hana dan Gania.
 “Kenapa, Radom?” tanya Mikaryu sambil menguap melihat Radom seperti melamun.
“Aku ingat! Aku harus meminta liontinmu untuk mengalahkan Peri Gwenda dan menolong Hana serta Gania,” jawab Radom.
“Aduh, liontinku itu ada di labirin di bawah rumahku. Pintu masuknya dari kursi ini. Tetapi, jauuuuh sekali ke dalam. Ada buanyaaaak sekali anak tangga dari lilitan kayu kokoh. Aku membayangkannya sudah… hoaheeeeeemmm… malas!” kuap Mikaryu sambil merenggangkan tubuhnya dengan malas.
“Eeemmh… iya yah…,” Radom mulai ragu. Ia sudah terlalu lama bermalas-malasan. Bayangan menuruni anak tangga dan menyusuri labirin sungguh melelahkan.
“Lagi pula, kalau kau mengambil potongan liontin itu, aku tak bisa menyuruh pohon-pohon ini untuk datang dan memenuhi kebutuhanku,” kata Mikaryu lagi sambil menjentikkan jarinya.
Kali ini pohon-pohon berdaun lebar yang tumbuh di dekat mereka. Pohon itu menggoyang-goyangkan daunnya seperti mengipasi mereka. Terasa nyaman sekali. Sejuk.
Radom jadi ikut menguap. Namun, sulur Hana di pergelangan tangan Radom melilitnya dengan erat. Lagi-lagi Radom teringat pada perasahabatannya dengan Hana. Radom mengejapkan matanya, berusaha mengusir kabut kantuk dan kemalasan di matanya.
“Mikaryu! Hentikan kipasan daun ini… aku… aku… hoaaaaahheeemmm…” Radom menguap berkali-kali tanpa bisa menyelesaikan ucapannya.
“Uh, aku harus melawannya,” gumam Radom dalam hati.
“Mikaryu! Aku akan mengambil potongan liontinmu demi Hana dan Gania,” ucap Radom lagi.
Mikaryu menoleh.
“Coba saja kalau kau bisa. Untuk masuk ke bawah labirin kau perlu aku dan aku jelas tidak mau membantumu. Sudah, malas-malasan sajalah,” kata Mikaryu sebelum kembali tertidur.
Susah payah Radom menyeret tubuhnya ke luar rumah, melawan kemalasan luar biasa. Di luar dia bertemu Kakek Dorito.
Kakek Dorito tersenyum melihat Radom.
“Hebat kamu, bisa mengalahkan rasa malasmu. Aku punya cara agar kamu bisa membuka pintu ke labirin itu,” ucap Kakek Dorito memberi harapan.
 “Aku tahu cara agar kau bisa membuka pintu labirin dan jalan di dalamnya,” ucap Kakek Dorito memberi harapan.
“Bagaimana caranya, Kek?” tanya Radom penuh semangat. Kakek Dorito pun menceritakan caranya. Menyusut sedikit semangat Radom mendengarnya. Caranya sama sekali tidak mudah. Tetapi Radom yang sekarang sudah jauh lebih tangguh dan tabah. Dengan keyakinan besar, dilaksanakannya perintah Kakek Dorito.
Pertama, Radom mengendap-endap mendekati Mikaryu dan mencelupkan jari telunjuk Mikaryu ke dalam tinta hitam. Setelah itu, ia menempelkan jari itu ke daun pisang kering sampai tercetak sidik jari Mikaryu. Radom melakukan semua itu dengan pelan-pelaaaan sekali. Jangan sampai Mikaryu terbangun!
“Untung saking pemalasnya, Mikaryu tidak mudah terbangun,” bisik Radom penuh rasa syukur.
Setelah itu, Radom menyusupkan dirinya ke kolong kursi Mikaryu. Di bagian bawah kursi, tampak satu ukiran yang mirip sidik jari Mikaryu. Radom menempelkan daun bersidik jari Mikaryu itu ke situ.
Greek.. greekk… greekkk… Radom merasakan lantai tempatnya berbaring bergerak ke dalam. Wuah… tiba-tiba dia sudah berada di depan jalinan kayu-kayu yang tampak rumit. Pasti itulah labirin rahasia Mikaryu. Jalinan kayu itu tampak begitu besar, rapat, dan rumit. Kalau salah jalan, Radom bisa tidak menemukan jalan keluar!
Namun, Radom tetap tenang. Sesuai dengan perintah Kakek Dorito, Radom menyatukan potongan liontin Hana dan potongan liontin Gania. Sinar keperakan memancar dari situ. Radom berjalan menembus labirin dengan mengikuti sinar perak itu.
Di tengah-tengah labirin, Radom menemukan potongan liontin Mikaryu. Radom mengulurkan tangan, hendak mengambilnya.
          “Hentikan!” tiba-tiba terdengar seruan Mikaryu. “Jangan ambil liontinku!” serunya lagi.
Mikaryu menjentikkan jarinya dan potongan liontin itu melayang. Dengan sigap, Radom melompat sambil mengulurkan tangan, berusaha meraihnya, tetapi gagal. Potongan liontin itu melayang melewati Radom.
Namun, tiba-tiba… Glegarrrr! Peri Gwenda muncul dan dengan cepat menangkap potongan liontin Mikaryu. Radom dan Mikaryu tersentak. Gawat!
“Jangaaaaan!” teriak Radom dengan refleks berlari maju untuk melawan Peri Nuandra. Sulur Peri Hana di pergelangan tangannya menjulur panjang dan melilitkan dirinya ke kedua tangan Peri Nuandra.
“Aaahh… sakit!” Pekik Peri Nuandra. Rupanya sulur Hana membelitnya dengan kencang. Genggamannya pada potongan liontin Mikaryu mengendur. Ular-ular berbisa yang melingkar di lehernya mendesis-desis mengerikan. Namun, dengan berani Radom meraih melewati leher Peri Gwenda dan berhasil meraup liontin itu dari Peri Gwenda.
“Awas kamu, ya!” Peri Gwenda memejamkan mata, dengan jurusnya berhasil melepaskan diri dari lilitan sulur.
Sementara itu Mikaryu hanya melihat semua itu dengan bengong. Dia sudah terlalu lama bermalas-malasan, reaksinya jadi lamban. Radom menjejalkan liontin Mikaryu ke tangannya.
“Mikaryu, cepat hadang Peri Gwenda!” desak Radom.
Mikaryu menelan ludah, dia tak harus apa. Sulur Hana kekuatannya sudah melemah. Warnanya yang tadi hijau, kini mulai mengering kecokelatan.  
“Cepat!” desak Radom lagi.
Mikaryu mengangkat tangan dan menjentikkan jarinya. Tak! Tak! Tak! Pohon-pohon beronak duri tumbuh dengan cepat di sekitar Peri Gwenda dan mulai menghimpitnya.
“Aarrhhh!! Awas ya, kalian ini! Aku akan tetap mengejarmu, Radom! Kali ini aku mengaku kalah, tetapi berikutnya, tidak akan!” suara Peri Gwenda menggelegar, menggema di seluruh labirin, lalu puuuuffhh… ia menghilang.
Begitu Peri Gwenda menghilang, Mikaryu langsung jatuh terduduk. Dia menangis tersedu-sedu, menyesali sikapnya selama ini. Dia bermalas-malasan dan tidak melatih kekuatannya, jadi, saat bahaya datang, dia malah sulit bertindak.
Dengan sukarela, Mikaryu menyerahkan liontinnya. Dengan sebatang pohon, ia menerbangkan Radom ke desa tempat tinggal Peri Api, Arapima. Setelah itu, dia akan memperbaiki situasi desanya dengan tangannya sendiri.
Dari atas pohon, Radom melambaikan tangan kepada Mikaryu dan Kakek Dorito. Bersiap untuk petualangan berikutnya di desa Arapima. Ah, bagaimana jika dia bertemu Peri Gwenda lagi?
Kayu Mikaryu membawa Radom naik ke puncak gunung. Sampai akhirnya, kayu itu menukik dan berhenti di gerbang suatu desa terpencil. Begitu Radom turun dari kayu, kayu itu langsung diam tak bergerak, seperti kayu biasa.
Radom melangkah masuk ke desa itu. Udara di sana terasa dingin, hamparan salju menyelimuti desa. Untung di tepi jalan di desa itu ada api-api unggun besar yang menghangatkan.
Di tengah alun-alun ada sebuah api unggun besar. Beberapa orang penduduk menghangatkan diri sambil bercengkrama. Suasana amat tenang dan damai. Seorang gadis kecil yang mirip dengan Hana tampak sedang membantu penduduk desa membesarkan nyala api unggun. Pasti itulah Arapima!
Ah, lega sekali Radom melihat Arapima tampaknya baik hati. Dia pasti tak keberatan menolong Radom. Tanpa membuang waktu, Radom mendekati Arapima dan menceritakan masalahnya. Tak disangka, Arapima menjawab cerita Radom dengan suara tawa.
“Biarkan saja Peri Gwenda datang. Aku dengan kekuatan apiku pasti bisa mengalahkannya!” sesumbar Arapima. “Kamu tahu, karena aku memberi api, penduduk desa ini bisa hidup. Jika tidak ada aku, huh, manusia tidak bisa hidup! Apa bisa Peri Gwenda mengalahkan kekuatan sebesar aku?”
 Ternyata, Peri Arapima menjadi sombong dan lupa diri karena kekuatannya! Sia-sia Radom berusaha memberitahunya betapa Peri Gwenda itu sangat kuat, berhasil menangkap Peri Hana dan Peri Gania, serta punya ular-ular yang melingkari pergelangan tangannya.
 “Ah, kamu tenang saja, Radom. Tidak usah mencari potongan liontin yang lain. Cukup dengan kekuatanku saja, aku bisa mengalahkannya! Kalau dia menyerang dengan panah beracun, aku tinggal melambaikan tanganku seperti ini… blarrrrr! Hanguslah panah-panah itu!” pamer Peri Arapima.
Sebatang pohon memang langsung hangus begitu Arapima melambaikan tangannya. Berbeda dengan Peri Hana, Peri Gania, dan Peri Mikaryu, Peri Arapima memang lebih kuat dan lebih terlatih.
“Mungkin dia memang bisa mengalahkan Peri Gwenda,” bisik Radom dalam hati. Walaupun begitu, Radom tetap cemas. Namun, di lain pihak, jika perkiraan Arapima berhasil, maka ia tak perlu repot-repot merebut potongan liontin Arapima dan pergi mencari Peri Haira. Akhirnya, Radom pun hidup tenang, menunggu Peri Gwenda di desa Arapima.
Hari-hari berlalu dan tiba-tiba… glegaaarr! Glegaaarrrr! Kilat menyambar-nyambar. Tak lama, muncullah Peri Gwenda yang terbang di atas naga bersama seekor serigala dan seekor kodok raksasa.
Nyaris pingsan Radom melihat mereka. Naga itu ada di legenda desanya. Naga belerang yang bisa menyemburkan belerang. Serigalanya juga bukan serigala biasa. Serigala itu berekor api dan sabetan ekornya sangat menyakitkan. Namun, yang paling bikin Radom lemas adalah si kodok raksasa.  Radom, kan, paling takut dan geli sama kodok. Hiiii…!
Melihat Radom memucat, Arapima langsung mengambil alih.
“Sudah, tenang saja! Biar aku yang hadapi!” ucap Arapima gagah.
“Kroook!” si kodok mengorek keras. Radom terlompat kaget dan refleks bersembunyi ke balik pohon.
Wuuuusshh…! Peri Gwenda mendarat di depan Arapima.
“Ah, peri kecil yang manis. Serahkan potongan liontinmu atau aku akan menyakitimu!” seru Peri Gwenda.
“Huh! Coba saja!” Arapima melambaikan tangannya siap mengeluarkan jurus apinya.
Namun, tiba-tiba byaaaarrr! Suatu pita air muncul dari balik tubuh Peri Gwenda. Pita air itu melilit tubuh Arapima.
“Ah… aduh… air! Api kalah oleh air! Kenapa kau bisa mengeluarkan kekuatan air?” tanya Arapima panik.
“Ha ha ha ha… Makanya, jangan berpikir kau ini yang paling hebat!” tukas Peri Gwenda. Dari balik tubuh Peri Gwenda tampak peri seumuran Hana, Gania, Mikaryu, dan Arapima. Peri itu memakai gaun biru. Peri Haira!
“Bibi Gwenda, aku tak bisa lama-lama mengikat Arapima. Air juga kalah oleh api. Aku mulai mengering,” ucap Peri Haira pelan.
 Peri Arapima dan Peri Haira tampak melemah. Tiba-tiba kedua potongan liontin mereka keluar dari tubuh mereka dan melayang-layang di udara.
“Ha ha ha ha… taktikku berhasil! Haira yang lemah dan mudah dikendalikan, bisa kuhasut untuk mengalahkan Arapima. Hasilnya kedua liontin mereka bisa kudapat!” tawa Peri Gwenda licik. Tangannya terulur hendak meraih potongan liontin Arapima dan Hana.
 “Tunggu!” seru Radom. Radom berdiri dengan kaki lemas, keluar dari persembunyiannya untuk berhadapan dengan Peri Gwenda, naga belerang, serigala ekor api, dan kodok raksasa.
“Lawan aku dulu!” seru Radom dengan suara digagah-gagahkan walau dalam hati ketakutan sekali.
Radom terpaku. Dia dengan beraninya menantang Peri Gwenda. Padahal, Peri Gwenda ditemani naga belerang, serigala berekor api, dan kodok raksasa. Bagaimana caranya mengalahkan mereka semua?
Tiba-tiba… tiiiiing! Radom merasa ada yang menghangat. Ketiga potongan liontin yang ia punya, kini bersatu.
“Seraaaaang!” perintah Peri Gwenda pada ketiga binatangnya.
Berebutan ketiga binatang itu berlari menghampiri Radom. Bersamaan dengan itu, Radom merasakan ketiga potongan liontinnya bersinar dan melayang ke depan.
Saat naga belerang maju, syuuut… liontin Hana mengeluarkan sulur yang mengikat kedua kaki naga sampai naga itu tidak bisa perlahan. Kemudian secara perlahan, sulur Hana melilit seluruh tubuh sang naga. Asap ungu seperti tersedot keluar dari tubuh naga, masuk ke dalam liontin. Rupanya, liontin Hana menyerap seluruh energi belerang yang dimiliki naga dan mengubahnya menjadi kepingan-kepingan tanah yang nantinya bisa mengobati penyakit kulit.
Sementara itu, potongan liontin Gania mengeluarkan angin topan yang membuat api pada ekor serigala itu padam dan menerbangkannya ke tempat yang jauuuuh sekali.
“Kroook!” Kodok raksasa maju mengejar Radom. Tak gentar walaupun teman-temannya gagal. Kali ini, giliran potongan liontin Mikaryu yang beraksi. Potongan liontin itu memancarkan sinar yang membentuk belitan kayu yang dengan cepat mengurung kodok raksasa itu.
Di tengah keributan itu, Arapima mengaku salah dan menyerahkan potongan liontinnya kepada Radom. Radom sudah mendapatkan empat potong liontin. Tinggal satu lagi dan dia bisa mengalahkan Peri Gwenda!
 “Haira, tolong serahkan potongan liontinmu kepadaku,” pinta Radom.
“Tidak! Kata Peri Gwenda, kamu jahat mau menguasai Kerajaan Peri!” tolak Haira.
Syaatt! Peri Gwenda menyabetkan sulur beracun, mengenai bahu Radom. Rasanya sakit sekali.
Radom mulai kehilangan kesabaran. Tinggal sedikit lagi! Ingin rasanya dia langsung merampas potongan liontin Haira yang melayang-layang itu. Namun, dicobanya sekali lagi.
“Haira, tatap aku,” Radom menatap Haira lekat-lekat. “Aku hanya ingin menolong Kerajaan Peri. Menolong Peri Narelia, sahabat-sahabatku Peri Hana dan Peri Gania,” ucap Radom tulus.
Peri Haira melihat ketulusan itu dan menyerahkan potongan liontinnya.
Dua potongan liontin Arapima dan Haira melayang mendekat dan bergabung dengan tiga potongan liontin lainnya. Melayang-layang di atas telapak tangan Radom. Sinar yang terpadu dari kelimanya tampak indah sekali. Seperti pelangi.
Radom memandanginya dengan perasaan aneh. Perasaan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Rasa penuh kekuasaan, Radom merasa dirinya amat besar. Semua yang lain begitu kecil dan tak berarti. Rasa yang sangat menyenangkan!
Peri Gwenda bertepuk tangan.
“Selamat, Radom. Kamu baru saja mendapat kesempatan untuk menguasai Kerajaan Peri dan Manusia! Rasa berkuasa itu menyenangkan, bukan?”
Radom mengangguk, masih terpukau menatap kelima potongan liontin itu.
“Satukan saja kelima potongan liontin itu, mintalah kekuasaan tak terbatas. Maka kau tak perlu susah-susah lagi seumur hidupmu. Kau menjadi Raja Kerajaan Peri dan Manusia!”  seru Peri Gwenda dengan senyum yang sangat manis.
Radom tersenyum rakus membayangkannya.
“Ah! Kamu betul! Aku akan meminta kekuasaan tak terbatas. Lalu, aku jadi kuat dan bisa mengalahkanmu, membebaskan peri-peri yang kau tawan!” ucap Radom bersemangat. “Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui!”
“Sayangnya tidak bisa, Radom,” sahut Peri Gwenda. “Permintaan kekuasaan tak terbatasmu akan mengabulkan semuanya kecuali untuk satu permintaan yang tadinya akan kau minta di awal perjalanan. Tujuan awalmu, kan, mengalahkan aku supaya bisa membebaskan Peri Hana. Tetapi, kalau cuman meminta mengalahkan aku, kau sendiri tidak dapat apa-apa, lo.”
“Oooh…” Radom terdiam.
“Begini saja. Kau minta kekuasaan tak terbatas, lalu kita berdua menggabungkan kekuatan untuk menguasai dunia peri dan dunia manusia. Tenang saja, Hana, sahabatmu, akan kubebaskan!” tawar Peri Gwenda, lagi-lagi dengan senyuman manis.
Radom diam. Berusaha berpikir jernih. Namun, sulit sekali. Semua terasa berputar-putar di kepalanya. Radom merasa amat lelah. Betapa inginnya Radom  menyelesaikan semuanya dan hidup enak selama-lamanya setelah ini. Tiba-tiba usul Peri Gwenda tampak sangat menarik.
“Bagaimana, Radom?” tanya Peri Gwenda lagi.
Radom tersenyum. Dia telah memutuskan. Radom mulai menggerakkan tangan menyatukan kelima potongan liontin. Liontin itu bergabung dengan mudah. Indah sekali dan bersinar keemasan. Radom membuka mulut untuk mengucapkan permintaannya.
Radom menggerakkan tangannya. Kelima potongan liontin menyatu dengan mudah, menyebarkan sinar keemasan yang indah. Itulah liontin pusaka kerajaan peri. Radom membuka mulut,
“Aku, Grovel Radom Bodbrittle dari Desa Marygold, meminta liontin pusaka kerajaan peri untuk mengubah hati Peri Gwenda menjadi baik, tidak iri lagi, bersedia membebaskan Peri Narelia, Peri Hana, dan Peri Gania.”
Sriiiing… Liontin bersinar semakin terang dan menyinari Peri Gwenda. Semua semak di sekitar mereka berbunga cantik dan mewangi semerbak, burung-burung berkicauan, angin bertiup lembut, gemericik air di kejauhan membuat suasana semakin indah.
Triiing… Peri  Gania muncul. Triiiing… Peri Hana muncul.
“Radom! Terima kasih, ya!” seru Peri Hana dan Peri Gania. Wajah mereka berdua tampak sangat bersemangat.
Triiiing… Peri Narelia, sang Ratu Peri, muncul.
Peri Narelia sangat cantik, lembut, dan anggun. Ada pancaran pelangi dari matanya. Rambutnya panjang terurai, dihiasi mahkota sulur yang berkilauan. Gaunnya putih indah dengan kalung api abadi. Ia memakai gelang dengan botol yang berisi delapan tetes air. Di tangannya ada setangkai tongkat kayu emas. Ia berjalan di atas pusaran angin.
“Terima kasih telah menyelamatkan kami, Radom,” Peri Narelia tersenyum hangat.
Peri Gwenda di sampingnya juga tersenyum dengan sangat tulus.
“Ibu, bolehkah sekarang aku menceritakan semuanya?” tanya Peri Hana dengan tidak sabar.
Peri Narelia mengangguk.
“Radom, sebenarnya ini semua pelajaran buat kamu. Peri Gwenda enggak benar-benar jahat, kok!” ucap Hana mengagetkan Radom.
“Lo, apa maksudmu?!” tanya Radom bingung.
“Begini ceritanya Radom. Tetua-tetua peri meramalkan bahwa kamulah yang nanti menjadi pasangan hidup peri putri mahkota Kerajan Peri, yaitu Peri Hana. Jika ramalan itu betul, dan biasanya ramalan para tetua peri itu benar, maka kamu akan menikah dengannya dan mendampinginya memerintah Kerajaan Peri,” cerita Peri Narelia dengan lembut.
Peri Gwenda tersenyum dan ikut bercerita,
“Lalu, Peri Narelia dan aku pergi ke Desa Marygold untuk melihatmu. Ternyata, apa yang kami lihat amat mengejutkan!”
“Iya, Radom. Mereka melihatmu suka berbuat semaumu, malas bekerja membantu ayah dan ibumu, tidak peduli pada hutan, dan yang paling parah, kamu penakut!” sambung Hana.
“Makanya kami semua lalu berkomplot dan membuat segala kejadian ini untuk memberimu pelajaran agar kamu menjadi anak yang baik. Kami lalu mengujimu dengan penawaran terakhir Peri Gwenda tadi,” kata Gania lagi.
“Ternyata, kamu hebat! Tadi aku tampak lemah. Kamu bisa saja asal merebut potongan liontinku. Namun, tidak. Kamu berlutut dan memintanya baik-baik,” ucap Haira.
“Aku juga senang sekali melihatmu berhasil melawan godaan kemalasanku,” tambah Mikaryu sambil tersenyum lebar.
“Dan, biarpun kamu sering sekali ketakutan dan putus asa, kamu selalu berhasil mengalahkan semua rasa itu,” kata Arapima.
“Iya, nyaris aku tidak tega menyuruhmu lompat dari puncak angin puting beliung. Kamu seperti mau pingsan dan mengompol sekaligus!” sahut Gania sambil cekikikan, disambut tawa semua peri lain.
“Kamu juga membuktikan bahwa kamu ternyata tidak haus kekuasaan. Godaan untuk itu ada, tetapi kamu berhasil mengalahkannya dengan menolak permintaanku,” Peri Gwenda menyimpulkan.
Wajah Radom memerah. Ini betul-betul kejutan!
 “Astaga! Kalian ini benar-benar mengerjai aku! Harusnya kalian yang dibilang bandel, bukan aku!” seloroh Radom sambil mengusap dahinya.
“He he he he… Maaf, Radom. Tapi, ini kan buat kamu juga,” sahut Peri Hana sambil tertawa lebar, membuat Radom ikut tertawa.
Ah, tentu saja, kamu bisa menebak apa yang selanjutnya terjadi. Peri Hana mengulurkan tangannya. Ia bahagia akan didampingi seorang manusia seperti Radom. Radom juga berbahagia akan mendampingi Peri Hana yang baik hati. Dalam hati, dia berjanji akan menjadi pemimpin Kerajaan Peri dengan sebaik-baiknya.

Dikutip dari Majalah Bobo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar