Tak dihiraukannya teriakan Pak Bod, ayah Radom, memintanya membantu di
ladang. Diacuhkannya seruan Bu Brittle, ibu Radom, yang menyuruh Radom mencuci
piring bekas sarapan. Radom terus berlari besama Docio, dan Sota yang juga
kabur dari tugas rumah mereka.
Tiba-tiba langkah Trio Badung itu berhenti.
“Radom, lihat, tuh… si Aneh Hana!” bisik Docio.
Mereka sudah sampai di pondok tengah hutan, tempat Hana dan Nenek Ruby
tinggal. Mereka itu pendatang baru di Desa Marygold.
Di depan pondok, tampak Hana sedang merawat kebun tomatnya. Hana seumuran
dengan Radom dan kawan-kawannya, tetapi Hana tidak pernah mau bermain bersama
mereka. Dia lebih suka sibuk sendirian di tengah hutan. Pokoknya, menurut
Radom, sama sekali enggak seru!
Nenek Ruby juga sama saja. Selalu menyendiri. Padahal penduduk Desa Marygold
sudah berusaha mendekatinya. Soalnya hasil panen sayur dan buah-buahan Nenek
Ruby selalu paling bagus. Namun, karena Nenek Ruby selalu diam dan tidak ramah,
mulailah desas-desus, bahwa Nenek Ruby itu nenek sihir. Makanya panennya selalu
bagus.
“Hana,” Nenek Ruby muncul dari pintu pondok. Tubuhnya kurus, wajahnya penuh
kerutan, rambutnya putih kusut.
“Nenek Sihiiir! Nenek Sihiiiir!” seru Radom, Docio, dan Sota serempak.
Tangan mereka sibuk melempar buah-buahan yang berjatuhan di dekat mereka ke
arah Nenek Ruby.
“Kalian!” geram Nenek Ruby, mengalihkan pandangannya ke Radom, Docio, dan
Sota.
Tentu saja ketiga anak nakal itu tak menunggu lama. Mereka langsung lari
sambil berseru riang, seenaknya menerabas semak yang baru mau tumbuh,
mematahkan ranting-ranting, menginjak bunga-bunga.
Begitulah hari-hari berlalu di Desa Marygold. Setiap hari Radom, Docio, dan
Sota bermain di hutan.
Suatu hari, saat sedang bermain, Radom ingin buang air kecil. Ia memisahkan
diri dari Docio dan Sota. Ia berjalan menyusuri jalan yang tadi dilaluinya
bersama teman-temannya. Tampak semak-semak rusak di sepanjang jalan. Namun,
Radom tidak mengacuhkannya.
Tiba-tiba terdengar suatu suara bisik-bisik misterius dari arah suatu semak.
Bisik-bisik itu mengalun seperti nyanyian. Aneh sekali. Ada perasaan tenang dan
damai mendengar suara nyanyian itu. Karena penasaran, Radom mengintip ke
baliknya. Wah, pemandangan di baliknya benar-benar mengejutkan.
Radom melihat Hana berlutut di samping semak mawar liar yang tadi dia injak.
Mata Hana terpejam, bibirnya melantunkan bisikan nyanyian misterius itu.
Tangannya menyentuh kelopak-kelopak mawar.
Tiba-tiba sraaaattt! Keajaiban terjadi! Telapak tangan Hana mengeluarkan
cahaya. Cahayanya meliputi semak rusak itu. Akar-akar yang tercabut masuk
kembali ke dalam tanah, ranting-ranting patah tersambung kembali,
kelopak-kelopak layu kembali mekar sempurna. Bahkan, mawar itu kini
mengeluarkan harum yang lebih semerbak.
Melihat itu, hanya satu kata yang terlintas dalam pikiran Radom.
“Pe… penyihiiiiirrr!” seru Radom. Hana terkejut mendengar seruannya.
Radom berlari meninggalkan Hana. Kali ini, tak ragu lagi, Nenek Ruby dan
Hana itu penyihir. Ia akan segera memberi tahu Kepala Desa, biar ia
mengusir Nenek Ruby dan Hana dari Desa Marygold.
Namun, aaah! Radom malah terperosok ke dalam lubang yang dulu pernah ia gali
bersama Docio dan Sota.
“Aduh… kakiku…,” rintih Radom.
Suatu bayangan menimpa di atasnya. Radom menengadahkan kepalanya. Aaaahh!!
Hana datang mengejarnya!
“Ja… jangan… jangan sihir aku jadi kodok,” pinta Radom terbata-bata. Ia
takut sekali. Apalagi mengingat selama ini dia dan teman-temannya sering sekali
meledek Nenek Ruby. Dibayangkannya berbagai kemungkinan buruk.
Saking takutnya, Radom mulai merasa celananya basah. Ya ampun, Radom,
pemimpin Trio Badung Desa Marygold mengompol di celana! Bagaimana ini?
“Minta maaf dulu! Janji, jangan lagi mengganggu aku dan Nenek Ruby!”
tukas Hana.
“I… iya, maaf yaa…Aku janji…”
“Janji juga, jangan merusak tanaman di hutan. Hati-hati kalau main di sini!”
tegas Hana lagi.
“Kami tid…” tadinya Radom hendak membantah, tetapi tiba-tiba ia sadar itu
benar. Ia, Docio, dan Sota sering menerebas semak dengan kasar sampai
semak-semak itu rusak.
“Baiklah,” janji Radom akhirnya.
Hana tersenyum. Ia mengucapkan sesuatu dan wuutt…wuuut… wuuutt… suatu sulut
muncul dan menjuntai masuk ke dalam lubang.
“Pegang erat-erat sulur itu,” perintah Hana.
“Uuh…” Radom malah meringis. Antara masih sedikit takut dengan Hana dan
sulur itu, serta malu melihat celananya yang basah. Apa kata Hana nanti? Lebih
parah lagi, apa kata Docio dan Sota?
“Hi hi hi… kamu mengompol yaaa?” goda Hana terkikik. Sulur yang menjulur ke
lubang juga ikut terangguk-angguk seperti tertawa.
Huh! Radom cemberut.
“Begini saja. Aku janji enggak akan cerita kalau kamu mengompol. Tapi kamu
juga janji, ya, jangan cerita-cerita kalau aku bisa mengendalikan tanaman,”
ujar Hana sambil tersenyum tulus. Ia mengulurkan jari kelingkingnya.
Tak ada cara lain. Terpaksa Radom menyambut jari kelingking itu. Mereka
saling mengaitkan jari kelingking tanda janji.
Syuuuutt! Sulur melingkari pinggang Radom dan mengangkatnya ke atas. Dengan
baik hatinya, sulur itu juga menutupi bagian celana Radom yang basah.
“Ternyata kamu penyihir yang baik,” ucap Radom tersipu. Betapa salahnya ia
selama ini menilai Hana.
Hana tersenyum.
“Aku bukan penyihir, tetapi aku memang berbeda dari anak lain. Aku ini Peri
Tumbuhan. Aku punya kekuatan mengendalikan tanah. Aku bisa menghidupkan kembali
tanaman layu. Namun, itu harus dirahasiakan. Makanya aku tidak berani berteman
dengan anak lain.”
“Lo, kenapa dirahasiakan? Itu, kan, hebat! Ayo kita ke desa, kau buat panen
penduduk jadi bagus, sebagai gantinya kita suruh mereka bayar! Pasti banyak
uang kita nanti!” usul Radom penuh semangat.
“Sssttt! Tidak bisa! Itu namanya memanfaatkan kekuatan demi uang! Lagi
pula…” suara Hana terdengar ragu.
Ia menoleh kiri kanan sebelum melanjutkan ucapannya.
“Aku bisa celaka kalau kekuatanku diketahui. Ada yang mengejar aku demi
mendapatkan kekuatanku!” jawabnya cepat-cepat.
“Apa? Siapa yang mau mencelakakanmu?” tanya Radom terkejut.
“Sudahlah. Itu masalahku. Yang penting, aku lega sudah membagi rahasia ini
dengan orang lain,” jawab Hana.
“Pokoknya, kalau ada yang mencelakakanmu, ia harus berhadapan denganku
Grovel Radom Bodbrittle, Pemimpin Trio Badung Desa Marygold!” jawab Radom
berapi-api, membuat Hana tersenyum.
“Sudah, pulanglah. Nanti kamu masuk angin, celana basah begitu hi hi
hi… Kalau nanti ketemu musuhku, bawa celana ganti, ya. Siapa tahu mengompol
lagi ha ha ha!” goda Hana sambil berlari masuk hutan, meninggalkan Radom yang
ikut tertawa.
Sejak hari itu Radom dan Hana bersahabat. Hana memang tidak pernah bermain
bersama Trio Badung Desa Marygold. Namun, setiap pagi, Radom melihat halaman
rumahnya dipenuhi aneka bunga. Itu bukti persahabatan dari Hana.
Sebagai gantinya, Radom meminta teman-temannya berhati-hati jika bermain di
hutan. Ia juga suka diam-diam meletakkan dua botol susu hasil perahan sapinya
di depan pondok Hana dan Nenek Ruby. Semua berjalan dengan damai dan indah di
Desa Marygold.
Sampai suatu ketika, saat sedang bermain bola, rumput-rumput di depan Radom
tumbuh tinggi dengan cepat. Rumput-rumput itu meliuk-liukkan tubuh mereka
seperti panik. Radom menoleh dan melihat semak-semak juga bergerak-gerak panik.
Tiba-tiba wuuuuttt… sejalur rumput di depannya berubah warna menjadi kelabu.
Jalur itu panjang seperti membentuk jalan setapak berwarna kelabu, masuk ke bagian
tergelap hutan.
“Waduh apa ini? Jangan-jangan… ada apa-apa dengan Hana!” gumam Radom. Dengan
agak ragu, Radom mengikuti jalan kelabu itu.
Musuh Hana adalah Peri Gwenda, bibinya sendiri.Peri Gwenda ingin
menguasai kelima potongan liontin pusaka kerajaan peri. Nenek Ruby meminta
Radom pergi mengumpulkan kelima potongan liontin dan menggunakannya untuk
mengalahkan Peri Gwenda. Radom meringis ketakutan. Duh, kok susah sekali, ya…
Radom menggaruk kepalanya bak kena serbuan kutu.
Tiba-tiba suatu sulur menjulur masuk ke dalam jendela dan melilit pergelangan
tangan Radom. Radom jadi teringat pada sulur yang dipakai Hana untuk
menolongnya naik dari lubang dan kebaikan hati Hana saat itu.
“Baiklah, aku akan mencoba menolong Hana,” janji Radom penuh tekad, padahal
dalam hati deg-degan setengah mati.
“Terima kasih, Nak! Ini bawalah potongan liontin Hana. Sayang, kau tidak bisa
memakai kekuatannya. Jaga baik-baik, ya,” pesan Nenek Ruby.
Nenek Ruby mengajak Radom keluar pondok sambil membawa suatu botol berukuran
kecil berisi serbuk kelap-kelip. Di luar ia mengucapkan suatu mantra sambil
melempar isi botol itu ke arah langit.
Jgeeeeeerrr!! Tiba-tiba langit menggelap, kilat dan halilintar
menyambar-nyambar. Terkaget-kaget Radom dibuatnya. Hyuuuuuuuu!! Angin puting
beliung terbentuk di horizon dan berputar-putar menuju tempat Radom dan Nenek
Ruby berdiri.
“Masuklah ke dalam angin putting beliung itu. Angin itulah yang akan membawa
kamu ke desa Gania, si Peri Angin,” ucap Nenek Ruby.
“Ha? Mmma… mas… masuk ke angin puting beliung?” Radom memucat. Angin
putting beliung itu sudah dekat sekali. Begitu kencang berputar menderu-deru.
“Iya! Pergilah!” Nenek Ruby setengah mendorong Radom ke arah angin.
“Lo? Nenek tidak ikut?” Radom berusaha berpegangan ke Nenek Ruby melawan
tarikan angin yang hendak membawanya masuk ke dalam pusarannya.
“Tentu tidak. Nenek, kan, sudah tua. Beda dengan kamu yang masih muda.
Hati-hati, ya!”
“Wuaaaahhh… kenapa Nenek tidak bilang kalau Nenek tidak ikuuuut! Aku, kan,…
Aaaaaaahh!” pekikan panik Radom terpotong. Radom masuk ke dalam pusaran angin
puting beliung dan ikut berputar-putar.
Bluk! Tiba-tiba Radom dijatuhkan angin puting beliung itu di suatu desa, lalu
angin itu menderu pergi meninggalkan Radom. Radom duduk sambil mengusap-usap
kepalanya.
Wuutt… wutt… Sulur Hana yang melilit di pergelangan tangan Radom ikut
mengusap-usap kepala Radom, seakan memberi penghiburan. Radom tersenyum.
“Terima kasih,” kata Radom, bersyukur ditemani sulur Hana itu. Entah apa kata
teman-temannya di Desa Marygold, melihat dia mengucapkan terima kasih kepada
sulur.
Radom melihat ke sekelilingnya. Dia berada di sebuah desa yang amat dingin.
Rumah penduduknya berselimut salju tebal.
Wooouuuusshh!! Woouuuuusssshhh!
“Hwaaaa!” Olala… Angin kencang bertiup, Radom sampai terlempar. Sulur
di pergelangan tangannya tiba-tiba memanjang dan mengaitkan diri ke sebuah
tiang pondok, menahan tubuh Radom agar tidak tertiup angin.
“Hei, anak muda! Mau mati beku di situ? Ayo, masuk ke sini!” panggil nenek
pemilik pondok.
Radom masuk ke dalam pondok itu. Di dalam pondok nyaman sekali. Api di
perapian mengepul hangat.
“Maafkan angin kencang itu, Nak. Itu perbuatan cucuku, Gania.”
“Ha? Gania?” Radom terperanjat mendengarnya.
Nenek yang ternyata bernama Nenek Giok itu adalah nenek yang membesarkan
Gania di bumi. Celakanya, Gania tidak tumbuh menjadi anak manis seperti
Hana. Dia malah menjadi anak pembangkang dan susah diatur. Gania seenak-enaknya
memakai kekuatannya. Semakin banyak orang yang takut dengan angin buatannya,
semakin senang dia.
Radom menelan ludah mendengarnya. Diceritakannya tujuan kedatangannya ke
desa itu kepada Nenek Giok dan meminta bantuannya.
Nenek Giok hanya tersenyum sedih. Gania sama sekali tidak bisa diatur. Dia
bahkan tidak menjawab panggilan Nenek Giok. Padahal Nenek Giok yang dulu susah
payah merawatnya. Menurut Nenek Giok hanya ada satu cara. Radom harus merebut
potongan liontin itu secara paksa sebelum Peri Gwenda.
Radom menghela nafas. Perjalanannya ini sama sekali tidak mudah rupanya!
“Merebut secara paksa bagaimana, Nek?
Aku, kan, enggak punya kekuatan apa-apa!” kata Radom cemas. Bayangkan! Merebut
potongan liontin dari peri penguasa angin!
“Coba kamu berteman dulu dengannya sampai dia mau memberi tahu
tempat ia menyimpan potongan liontinnya. Nanti, saat dia lengah, kamu rebut
potongan liontin itu,” saran Nenek Giok.
“Ide bagus, Nek!” seru Radom serta merta.
Tak sampai sejam kemudian, Radom sudah sampai ke puncak bukit. Nenek Giok
yang memberi tahu Radom kalau Gania suka bermain sendirian di puncak bukit itu.
Sepanjang perjalanan Radom sudah memikirkan cara agar Gania mau berteman
dengannya.
Wuuusshh! Angin kencang bertiup berputar-putar. Radom berlagak cuek.
Sebetulnya, sih, agak takut juga, tetapi angin sebesar itu tidak sebanding
dengan angin puting beliung yang membawanya ke desa Gania.
Hyuuuuuuuuuuuuuuuuunggg!!! Angin semakin kencang, tetapi Radom malah menguap
dan pura-pura tertidur di tengah deru angin.
Akhirnya Gania menyerah. Dari dalam pusaran angin, muncul gadis seusia Hana
dengan baju berwarna kehijauan, lembut melambai-lambai. Wajahnya cantik, sayang
sedang cemberut.
“Siapa kamu?” tanya Gania ketus.
“Aku Radom, pemimpin Trio Badung Desa Marygold,” sahut Radom gagah.
“Mau apa kamu di sini?” tanya Gania lagi.
“Yah… mau lihat-lihat sajaa… Kamu, ya, yang bikin angin ribut tadi itu?
Boleh juga…” puji Radom dengan nada tidak acuh. “Kalau aku… Aku bisa membuatmu
kegelian!” ucap Radom, bersamaan dengan itu sulur Hana meluncur dan menggelitik
pinggang Gania.
Gania tertawa kegelian dan angin di sekitar mereka seperti ikut tertawa.
“Sudah! Sudah!” pekik Gania.
Radom meminta sulur Hana berhenti menggelitik Gania. Gania tersenyum. Mereka
lalu berkenalan dan sejak itu berteman.
Gania yang sudah lama tidak punya teman senang sekali berteman dengan Radom.
Itu terlihat sekali dari mata Gania yang bersinar-sinar saat bermain dengan
Radom.
Tak butuh waktu lama, Gania mengajak Radom ke tempat rahasia. Pertama,
mereka membiarkan tubuh mereka dikelilingi pusaran angin puting beliung. Lalu,
di tengah angin itu muncul tangga yang mereka naiki bersama sampai langit
ketujuh. Semakin ke atas angin semakin keras. Radom jadi semakin
ketakutan.
“Hi hi hi… jangan pucat begitu, dong! Kalau kamu jatuh, aku akan
menolongmu,” Gania tersenyum menenangkan.
“Kamu baik sekali kepadaku. Kenapa suka menakut-nakuti penduduk desa, sih?”
tanya Radom penasaran.
Gania pun mulai bercerita kalau dia jadi pembangkang dan tidak mau diatur
karena dia tidak punya teman di desanya. Nenek Giok terlalu melindunginya.
Anak-anak di desa suka menjahilinya. Saat akhirnya dia bisa menggunakan
kekuatan anginnya, Gania jadi semena-mena.
“Asyik sekali, deh, melihat mereka yang dulu suka menjahiliku jadi takut
kepadaku!” kata Gania bangga.
Saat itu mereka sudah sampai di puncak angin. Tangan Gania meraih
sebuah kotak emas berkilau dan membukanya. Tampak sebentuk potongan liontin
berwarna hijau emerald.
“Inilah rahasia kekuatanku. Kalau tidak ada ini, aku tidak bisa menguasai
angin. Huh! Anak-anak di desa pasti akan kembali menjahiliku,” ucap Gania
sambil membelai liontin itu.
“Wah! Hebat sekali liontin ini. Boleh aku memegangnya?” tanya Radom
sambil menengadahkan tangannya.
Gania tampak ragu sebentar, tetapi lalu diulurkannya liontin itu ke tangan
Radom.
“Boleh, deh. Kan, kamu temanku,” kata Gania sambil tersenyum.
Radom langsung terdiam. Tadinya tangannya sudah siap menyambar liontin Gania,
tetapi mendengar ucapan Gania, Radom jadi tidak enak. Gania menganggapnya
teman, padahal dia berteman dengan Gania, hanya karena ingin merebut
liontinnya! Jahat sekali!
Radom menarik tangannya.
“Ada yang mau kuceritakan padamu,” ucap Radom. Lalu, mulailah Radom
bercerita tentang Hana dan Peri Gwenda dan betapa dia sangat memerlukan
potongan liontin Gania.
“Sekarang, terserah kamu… Mau memberikannya atau tidak. Jika tidak, demi
melawan Peri Gwenda, aku terpaksa merebutnya. Tetapi kalau bisa, aku ingin memintanya
baik-baik,” kata Radom mengakhiri ceritanya.
Gania tampak ragu, tetapi lalu diulurkannya potongan liontin itu.
“Ini. Aku tidak akan menakut-nakuti penduduk desa lagi. Jaga baik-baik, ya,”
ujarnya.
Namun, tiba-tiba bayangan gelap muncul di belakang Gania. Astaga, Peri
Gwenda!
“Serahkan potongan liontin itu!” seru Peri Gwenda.
“Uh, enggak akan!” sahut Peri Gania. Ia melambaikan tangannya dan angin
puting beliung menahan Peri Gwenda.
“Radom, cepat pergi! Bawa liontin ini!” perintah Peri Gania sambil
menjejalkan potongan liontin dan sebuah botol. “Aku tak bisa lama-lama menahan
Peri Gwenda. Kumpulkan potongan liontin lainnya dan kalahkan Peri Gwenda!”
“Ah… Te… tapi…” ucap Radom terbata-bata.
“Botol itu beri serbuk kelap-kelip. Sebarkan serbuk itu saat kamu
terjun dari angin ini. Serbuk ini serbuk peri angin, pasti bisa membawamu ke
desa Steackra Gold, tempat tinggal adikku, Mikaryu!”
“Ha? Terjun dari puncak puting beliung?” ulang Radom dengan mata
membesar ngeri. Dilihat dari atas gulungan angin putting beliung itu
begitu tinggi, berputar-putar, berwarna kelabu. Melihatnya saja Radom sudah
mual, apalagi terjun ke dalamnya.
“Cepatlah!” desak Peri Gania. “Aku sudah tidak kuat lagi, aaaaahhhh!!!”
sinar merah menembus angin yang meghadang Peri Gwenda dan mengenai bahu Peri
Gania.
Tak ada pilihan lain, Radom terjun bebas ke dalam angin puting beliung.
Rasanya tubuhnya seperti masuk mesin cuci. Terlempar ke sana ke mari.
Tangan Radom bergetar saat dia membuka tutup botol dari Peri Gania. Untung
ada sulur Peri Hana. Sulur itu membantunya membuka tutup botol. Begitu serbuk
kelap-kelip disebarkan di sekelilingnya, tubuh Radom terangkat dengan ringan.
Pada saat itulah, ia melihat Peri Gania tertangkap oleh Peri Gwenda.
“Gania… Ah, aku pasti akan menyelamatkanmu. Kau dan Hana. Aku janji!” tekad
Radom dalam hati.
Radom melayang terus sampai ke suatu desa dan akhirnya tersangkut di sebuah
pohon tinggi. Radom melongok dari atas pohon dan amat terkejut. Di
bawah pohon itu tampak sebuah desa kecil yang penuh pohon. Yang aneh,
pohon-pohon itu tumbuh tak beraturan. Cabang-cabang pohon saling melilit,
keluar masuk rumah yang terbuat dari kayu.
Radom menuruni pohon tinggi itu dan mengayunkan langkah masuk desa.
Desa itu ternyata benar-benar aneh. Penuh dengan kayu-kayu yang tak beraturan,
mengganggu jalan Radom.
“Cari siapa?” sapa suatu suara.
Radom mencari asal suara dan melihat seorang kakek sedang menebang kayu yang
menghalangi sumur kayu di depan sebuah rumah kayu besar.
“Mencari Mikaryu, Kek,” jawab Radom.
“Mencari cucuku?” Kakek itu mengerutkan dahinya.
Kakek itu bernama Kakek Dorito. Seperti juga Nenek Giok dan Nenek Ruby,
Kakek Dorito bertugas menjaga, mengasuh, dan mengajari para peri. Dengan
segera, Radom menceritakan apa yang terjadi.
“Aku harus cepat-cepat mendapatkan potongan liontin Mikaryu, Kek. Tolong
suruh Mikaryu menyerahkan potongan liontin itu kepadaku,” pinta Radom.
“Soal itu, kamu minta sendiri saja. Dia ada di dalam rumah. Namun, ingat,
jangan duduk di atas kursi kayu di situ, ya,” jawab Kakek Dorito, lalu kembali
menebang kayu.
Radom masuk ke dalam rumah besar. Rumah itu indah, penuh dengan kayu
berukir-ukir. Namun, tidak ada siapa-siapa di situ.
Pohon-pohon rindang yang mengelilingi desa menjadikan suasana di situ terasa
sejuk. Radom menguap. Dia merasa amat lelah. Tiba-tiba ia melihat sebuah kursi
panjang dari kayu yang tampak nyaman. Kursi-kursi lain di ruangan itu
bertonjolan akar dan ranting, tidak bisa diduduki, hanya kursi itu yang bisa.
Di atas kursi itu tampak bantal-bantal dari dedaunan yang tampak empuk.
Radom melupakan larangan Kakek Dorito. Tak dipedulikannya juga sulur Hana
yang menggeleng-geleng kuat, seperti mengingatkan. Radom berjalan mendekati
kursi itu dan duduk. Kepalanya ia rebahkan di atas bantal dedaunan. Nyaman
sekali, rasanya. Tak butuh waktu lama, Radom pun tertidur pulas.
“Mau apa kau duduk di situ!” suatu suara kasar membentaknya.
Radom membuka mata dengan terkejut. Di hadapannya ada peri cantik. Itulah
Mikaryu.
“Aku ulang, mau apa kau duduk di situ?” tanya Mikaryu lagi.
“Aku… aku… huaaaaaaahhmmm…” Radom menguap lebar.
Tiba-tiba dia hanya merasa mengantuk dan malas. Ia tidak bisa mengingat apa
yang ia lakukan di situ! Dia lupa sama sekali akan Hana, Gania, dan potongan
liontin! Itulah sebabnya Kakek Dorito melarangnya duduk di kursi itu!
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya
Mikaryu tajam.
Radom membalasnya dengan kuapan besar.
“Hoaaahheemmmm… aku mengantuk sekali. Kenapa kau ribut-ribut, sih?”
“Aku ribut-ribut karena kau duduk di kursiku,” jawab Mikaryu.
“Oooh… maaf. Aku lelah sekali tadi,” Radom menggeser posisi duduknya. “Ayo,
duduklah di sini.”
Mikaryu memandang Radom yang sibuk meregangkan tubuh dan mengucek matanya.
Mikaryu tersenyum. Ia duduk di samping Radom.
“Sepertinya kamu sama pemalasnya denganku. Asyik, dong, kita bisa bermalas-malasan
berdua,” ujar Mikaryu. Ia menjentikkan jarinya, dan wuuuttt… kursi itu membelah
menjadi dua. Masing-masing kursi sama besar dan nyamannya, bantal-bantalnya pun
bertambah banyak.
“Wuaah keren sekali!” kagum Radom.
“Iya, dong. Aku, kan, peri penguasa kayu. Aku bisa mendapatkan semua yang
aku mau hanya dengan menjentikkan jari,” ucap Mikaryu sambil menjentikkan
jarinya.
Kali ini, tumbuh pohon kelapa di depan mereka. Dua butir kelapa muda jatuh
dari pohon itu dan langsung terbelah. Wooow… terlihat begitu segar!
“Ayo, kita minum!” ajak Mikaryu.
Tanpa buang waktu Radom meminum habis air kelapa dan melahap daging buahnya.
Begitulah. Dengan kekuatan Mikaryu, Radom dan Mikaryu tidak perlu melakukan
apa-apa. Radom pun jadi malas dan melupakan niatnya meminta potongan liontin
Mikaryu.
Mikaryu bisa menyuruh pohon apa pun tumbuh di hadapan mereka untuk memenuhi
kebutuhan mereka. Mikaryu memang menyalahgunakan kekuatannya. Makanya, di desa
itu pohon-pohon tumbuh tak beraturan menyusahkan penduduk desa. Kakek Dorito
sudah putus asa melihatnya!
Sulur Hana sedih melihat itu semua. Ia tak bisa tinggal diam.
Suatu hari, saat Radom sedang tertidur di atas kursi Mikaryu, sulur
Hana menggelitik pinggang Radom sampai Radom tertawa keras dan terguling ke
lantai dan tiiiing… dua buah potongan liontin Hana dan Gania terlempar dari
saku Radom dan menyatu.
Kedua liontin itu memancarkan cahaya hangat. Cahaya itu menyentuh
Radom dan Radom teringat akan persahabatannya dengan Hana dan Gania.
“Kenapa, Radom?” tanya Mikaryu sambil menguap melihat Radom seperti
melamun.
“Aku ingat! Aku harus meminta liontinmu untuk mengalahkan Peri Gwenda dan
menolong Hana serta Gania,” jawab Radom.
“Aduh, liontinku itu ada di labirin di bawah rumahku. Pintu masuknya
dari kursi ini. Tetapi, jauuuuh sekali ke dalam. Ada buanyaaaak sekali anak
tangga dari lilitan kayu kokoh. Aku membayangkannya sudah…
hoaheeeeeemmm… malas!” kuap Mikaryu sambil merenggangkan tubuhnya dengan malas.
“Eeemmh… iya yah…,” Radom mulai ragu. Ia sudah terlalu lama bermalas-malasan.
Bayangan menuruni anak tangga dan menyusuri labirin sungguh melelahkan.
“Lagi pula, kalau kau mengambil potongan liontin itu, aku tak bisa menyuruh
pohon-pohon ini untuk datang dan memenuhi kebutuhanku,” kata Mikaryu lagi
sambil menjentikkan jarinya.
Kali ini pohon-pohon berdaun lebar yang tumbuh di dekat mereka. Pohon itu
menggoyang-goyangkan daunnya seperti mengipasi mereka. Terasa nyaman sekali.
Sejuk.
Radom jadi ikut menguap. Namun, sulur Hana di pergelangan tangan Radom
melilitnya dengan erat. Lagi-lagi Radom teringat pada perasahabatannya dengan
Hana. Radom mengejapkan matanya, berusaha mengusir kabut kantuk dan kemalasan
di matanya.
“Mikaryu! Hentikan kipasan daun ini… aku… aku… hoaaaaahheeemmm…” Radom
menguap berkali-kali tanpa bisa menyelesaikan ucapannya.
“Uh, aku harus melawannya,” gumam Radom dalam hati.
“Mikaryu! Aku akan mengambil potongan liontinmu demi Hana dan Gania,” ucap
Radom lagi.
Mikaryu menoleh.
“Coba saja kalau kau bisa. Untuk masuk ke bawah labirin kau perlu aku dan
aku jelas tidak mau membantumu. Sudah, malas-malasan sajalah,” kata Mikaryu
sebelum kembali tertidur.
Susah payah Radom menyeret tubuhnya ke luar rumah, melawan kemalasan luar
biasa. Di luar dia bertemu Kakek Dorito.
Kakek Dorito tersenyum melihat Radom.
“Hebat kamu, bisa mengalahkan rasa malasmu. Aku punya cara agar kamu bisa
membuka pintu ke labirin itu,” ucap Kakek Dorito memberi harapan.
“Aku tahu cara agar kau bisa membuka
pintu labirin dan jalan di dalamnya,” ucap Kakek Dorito memberi harapan.
“Bagaimana caranya, Kek?” tanya Radom penuh semangat. Kakek Dorito pun
menceritakan caranya. Menyusut sedikit semangat Radom mendengarnya. Caranya
sama sekali tidak mudah. Tetapi Radom yang sekarang sudah jauh lebih tangguh
dan tabah. Dengan keyakinan besar, dilaksanakannya perintah Kakek Dorito.
Pertama, Radom mengendap-endap mendekati Mikaryu dan mencelupkan
jari telunjuk Mikaryu ke dalam tinta hitam. Setelah itu, ia menempelkan jari
itu ke daun pisang kering sampai tercetak sidik jari Mikaryu. Radom melakukan
semua itu dengan pelan-pelaaaan sekali. Jangan sampai Mikaryu
terbangun!
“Untung saking pemalasnya, Mikaryu tidak mudah terbangun,” bisik Radom penuh
rasa syukur.
Setelah itu, Radom menyusupkan dirinya ke kolong kursi Mikaryu. Di
bagian bawah kursi, tampak satu ukiran yang mirip sidik jari Mikaryu. Radom
menempelkan daun bersidik jari Mikaryu itu ke situ.
Greek.. greekk… greekkk… Radom merasakan lantai tempatnya berbaring bergerak
ke dalam. Wuah… tiba-tiba dia sudah berada di depan jalinan kayu-kayu yang
tampak rumit. Pasti itulah labirin rahasia Mikaryu. Jalinan kayu itu tampak
begitu besar, rapat, dan rumit. Kalau salah jalan, Radom bisa tidak menemukan
jalan keluar!
Namun, Radom tetap tenang. Sesuai dengan perintah Kakek Dorito,
Radom menyatukan potongan liontin Hana dan potongan liontin Gania. Sinar
keperakan memancar dari situ. Radom berjalan menembus labirin dengan mengikuti
sinar perak itu.
Di tengah-tengah labirin, Radom menemukan potongan liontin Mikaryu. Radom
mengulurkan tangan, hendak mengambilnya.
“Hentikan!” tiba-tiba
terdengar seruan Mikaryu. “Jangan ambil liontinku!” serunya lagi.
Mikaryu menjentikkan jarinya dan potongan liontin itu melayang. Dengan
sigap, Radom melompat sambil mengulurkan tangan, berusaha meraihnya, tetapi
gagal. Potongan liontin itu melayang melewati Radom.
Namun, tiba-tiba… Glegarrrr! Peri Gwenda muncul dan dengan cepat menangkap
potongan liontin Mikaryu. Radom dan Mikaryu tersentak. Gawat!
“Jangaaaaan!” teriak Radom dengan refleks berlari maju untuk melawan Peri
Nuandra. Sulur Peri Hana di pergelangan tangannya menjulur panjang dan
melilitkan dirinya ke kedua tangan Peri Nuandra.
“Aaahh… sakit!” Pekik Peri Nuandra. Rupanya sulur Hana membelitnya dengan
kencang. Genggamannya pada potongan liontin Mikaryu mengendur. Ular-ular
berbisa yang melingkar di lehernya mendesis-desis mengerikan. Namun, dengan
berani Radom meraih melewati leher Peri Gwenda dan berhasil meraup liontin itu
dari Peri Gwenda.
“Awas kamu, ya!” Peri Gwenda memejamkan mata, dengan jurusnya berhasil
melepaskan diri dari lilitan sulur.
Sementara itu Mikaryu hanya melihat semua itu dengan bengong. Dia sudah
terlalu lama bermalas-malasan, reaksinya jadi lamban. Radom menjejalkan liontin
Mikaryu ke tangannya.
“Mikaryu, cepat hadang Peri Gwenda!” desak Radom.
Mikaryu menelan ludah, dia tak harus apa. Sulur Hana kekuatannya sudah
melemah. Warnanya yang tadi hijau, kini mulai mengering kecokelatan.
“Cepat!” desak Radom lagi.
Mikaryu mengangkat tangan dan menjentikkan jarinya. Tak! Tak! Tak!
Pohon-pohon beronak duri tumbuh dengan cepat di sekitar Peri Gwenda dan mulai
menghimpitnya.
“Aarrhhh!! Awas ya, kalian ini! Aku akan tetap mengejarmu, Radom! Kali ini
aku mengaku kalah, tetapi berikutnya, tidak akan!” suara Peri Gwenda
menggelegar, menggema di seluruh labirin, lalu puuuuffhh… ia menghilang.
Begitu Peri Gwenda menghilang, Mikaryu langsung jatuh terduduk. Dia
menangis tersedu-sedu, menyesali sikapnya selama ini. Dia
bermalas-malasan dan tidak melatih kekuatannya, jadi, saat bahaya datang, dia
malah sulit bertindak.
Dengan sukarela, Mikaryu menyerahkan liontinnya. Dengan sebatang pohon, ia
menerbangkan Radom ke desa tempat tinggal Peri Api, Arapima. Setelah itu, dia
akan memperbaiki situasi desanya dengan tangannya sendiri.
Dari atas pohon, Radom melambaikan tangan kepada Mikaryu dan Kakek Dorito.
Bersiap untuk petualangan berikutnya di desa Arapima. Ah, bagaimana jika dia
bertemu Peri Gwenda lagi?
Kayu Mikaryu membawa Radom naik ke puncak gunung. Sampai akhirnya, kayu itu
menukik dan berhenti di gerbang suatu desa terpencil. Begitu
Radom turun dari kayu, kayu itu langsung diam tak bergerak, seperti kayu biasa.
Radom melangkah masuk ke desa itu. Udara di sana terasa dingin,
hamparan salju menyelimuti desa. Untung di tepi jalan di desa itu ada api-api
unggun besar yang menghangatkan.
Di tengah alun-alun ada sebuah api unggun besar. Beberapa orang
penduduk menghangatkan diri sambil bercengkrama. Suasana amat tenang dan damai.
Seorang gadis kecil yang mirip dengan Hana tampak sedang membantu penduduk desa
membesarkan nyala api unggun. Pasti itulah Arapima!
Ah, lega sekali Radom melihat Arapima tampaknya baik hati. Dia pasti tak
keberatan menolong Radom. Tanpa membuang waktu, Radom mendekati Arapima dan
menceritakan masalahnya. Tak disangka, Arapima menjawab cerita Radom dengan
suara tawa.
“Biarkan saja Peri Gwenda datang. Aku dengan kekuatan apiku pasti bisa
mengalahkannya!” sesumbar Arapima. “Kamu tahu, karena aku memberi api, penduduk
desa ini bisa hidup. Jika tidak ada aku, huh, manusia tidak bisa hidup! Apa
bisa Peri Gwenda mengalahkan kekuatan sebesar aku?”
Ternyata, Peri Arapima menjadi sombong dan lupa diri
karena kekuatannya! Sia-sia Radom berusaha memberitahunya betapa Peri Gwenda
itu sangat kuat, berhasil menangkap Peri Hana dan Peri Gania, serta punya
ular-ular yang melingkari pergelangan tangannya.
“Ah, kamu tenang saja, Radom. Tidak usah mencari potongan liontin yang
lain. Cukup dengan kekuatanku saja, aku bisa mengalahkannya! Kalau dia
menyerang dengan panah beracun, aku tinggal melambaikan tanganku seperti ini…
blarrrrr! Hanguslah panah-panah itu!” pamer Peri Arapima.
Sebatang pohon memang langsung hangus begitu Arapima melambaikan tangannya.
Berbeda dengan Peri Hana, Peri Gania, dan Peri Mikaryu, Peri Arapima memang
lebih kuat dan lebih terlatih.
“Mungkin dia memang bisa mengalahkan Peri Gwenda,” bisik Radom dalam hati.
Walaupun begitu, Radom tetap cemas. Namun, di lain pihak, jika perkiraan
Arapima berhasil, maka ia tak perlu repot-repot merebut potongan liontin
Arapima dan pergi mencari Peri Haira. Akhirnya, Radom pun hidup tenang,
menunggu Peri Gwenda di desa Arapima.
Hari-hari berlalu dan tiba-tiba… glegaaarr! Glegaaarrrr! Kilat
menyambar-nyambar. Tak lama, muncullah Peri Gwenda yang terbang di atas
naga bersama seekor serigala dan seekor kodok raksasa.
Nyaris pingsan Radom melihat mereka. Naga itu ada di legenda
desanya. Naga belerang yang bisa menyemburkan belerang. Serigalanya juga bukan
serigala biasa. Serigala itu berekor api dan sabetan ekornya sangat
menyakitkan. Namun, yang paling bikin Radom lemas adalah si kodok
raksasa. Radom, kan, paling takut dan geli sama kodok. Hiiii…!
Melihat Radom memucat, Arapima langsung mengambil alih.
“Sudah, tenang saja! Biar aku yang hadapi!” ucap Arapima gagah.
“Kroook!” si kodok mengorek keras. Radom terlompat kaget dan refleks
bersembunyi ke balik pohon.
Wuuuusshh…! Peri Gwenda mendarat di depan Arapima.
“Ah, peri kecil yang manis. Serahkan potongan liontinmu atau aku akan
menyakitimu!” seru Peri Gwenda.
“Huh! Coba saja!” Arapima melambaikan tangannya siap mengeluarkan jurus
apinya.
Namun, tiba-tiba byaaaarrr! Suatu pita air muncul dari balik tubuh Peri
Gwenda. Pita air itu melilit tubuh Arapima.
“Ah… aduh… air! Api kalah oleh air! Kenapa kau bisa mengeluarkan kekuatan
air?” tanya Arapima panik.
“Ha ha ha ha… Makanya, jangan berpikir kau ini yang paling hebat!” tukas
Peri Gwenda. Dari balik tubuh Peri Gwenda tampak peri seumuran Hana, Gania,
Mikaryu, dan Arapima. Peri itu memakai gaun biru. Peri Haira!
“Bibi Gwenda, aku tak bisa lama-lama mengikat Arapima. Air juga kalah oleh
api. Aku mulai mengering,” ucap Peri Haira pelan.
Peri Arapima dan Peri Haira tampak melemah. Tiba-tiba kedua potongan
liontin mereka keluar dari tubuh mereka dan melayang-layang di udara.
“Ha ha ha ha… taktikku berhasil! Haira yang lemah dan mudah dikendalikan,
bisa kuhasut untuk mengalahkan Arapima. Hasilnya kedua liontin mereka bisa
kudapat!” tawa Peri Gwenda licik. Tangannya terulur hendak meraih potongan
liontin Arapima dan Hana.
“Tunggu!” seru Radom. Radom berdiri dengan kaki lemas, keluar dari
persembunyiannya untuk berhadapan dengan Peri Gwenda, naga belerang, serigala
ekor api, dan kodok raksasa.
“Lawan aku dulu!” seru Radom dengan suara digagah-gagahkan walau dalam hati
ketakutan sekali.
Radom terpaku. Dia dengan beraninya menantang Peri Gwenda. Padahal, Peri
Gwenda ditemani naga belerang, serigala berekor api, dan kodok raksasa.
Bagaimana caranya mengalahkan mereka semua?
Tiba-tiba… tiiiiing! Radom merasa ada yang menghangat. Ketiga potongan
liontin yang ia punya, kini bersatu.
“Seraaaaang!” perintah Peri Gwenda pada ketiga binatangnya.
Berebutan ketiga binatang itu berlari menghampiri Radom. Bersamaan dengan
itu, Radom merasakan ketiga potongan liontinnya bersinar dan melayang ke depan.
Saat naga belerang maju, syuuut… liontin Hana mengeluarkan sulur
yang mengikat kedua kaki naga sampai naga itu tidak bisa perlahan. Kemudian
secara perlahan, sulur Hana melilit seluruh tubuh sang naga. Asap ungu seperti
tersedot keluar dari tubuh naga, masuk ke dalam liontin. Rupanya, liontin Hana
menyerap seluruh energi belerang yang dimiliki naga dan mengubahnya menjadi
kepingan-kepingan tanah yang nantinya bisa mengobati penyakit kulit.
Sementara itu, potongan liontin Gania mengeluarkan angin topan yang
membuat api pada ekor serigala itu padam dan menerbangkannya ke tempat yang
jauuuuh sekali.
“Kroook!” Kodok raksasa maju mengejar Radom. Tak gentar walaupun
teman-temannya gagal. Kali ini, giliran potongan liontin Mikaryu yang beraksi. Potongan
liontin itu memancarkan sinar yang membentuk belitan kayu yang dengan cepat
mengurung kodok raksasa itu.
Di tengah keributan itu, Arapima mengaku salah dan menyerahkan potongan
liontinnya kepada Radom. Radom sudah mendapatkan empat potong liontin. Tinggal
satu lagi dan dia bisa mengalahkan Peri Gwenda!
“Haira, tolong serahkan potongan liontinmu kepadaku,” pinta Radom.
“Tidak! Kata Peri Gwenda, kamu jahat mau menguasai Kerajaan Peri!” tolak
Haira.
Syaatt! Peri Gwenda menyabetkan sulur beracun, mengenai bahu Radom. Rasanya
sakit sekali.
Radom mulai kehilangan kesabaran. Tinggal sedikit lagi! Ingin rasanya dia
langsung merampas potongan liontin Haira yang melayang-layang itu. Namun,
dicobanya sekali lagi.
“Haira, tatap aku,” Radom menatap Haira lekat-lekat. “Aku hanya ingin
menolong Kerajaan Peri. Menolong Peri Narelia, sahabat-sahabatku Peri Hana dan
Peri Gania,” ucap Radom tulus.
Peri Haira melihat ketulusan itu dan menyerahkan potongan liontinnya.
Dua potongan liontin Arapima dan Haira melayang mendekat dan bergabung
dengan tiga potongan liontin lainnya. Melayang-layang di atas telapak tangan
Radom. Sinar yang terpadu dari kelimanya tampak indah sekali. Seperti pelangi.
Radom memandanginya dengan perasaan aneh. Perasaan yang belum pernah dia
rasakan sebelumnya. Rasa penuh kekuasaan, Radom merasa dirinya amat besar.
Semua yang lain begitu kecil dan tak berarti. Rasa yang sangat menyenangkan!
Peri Gwenda bertepuk tangan.
“Selamat, Radom. Kamu baru saja mendapat kesempatan untuk menguasai Kerajaan
Peri dan Manusia! Rasa berkuasa itu menyenangkan, bukan?”
Radom mengangguk, masih terpukau menatap kelima potongan liontin itu.
“Satukan saja kelima potongan liontin itu, mintalah kekuasaan tak terbatas.
Maka kau tak perlu susah-susah lagi seumur hidupmu. Kau menjadi Raja Kerajaan
Peri dan Manusia!” seru Peri Gwenda dengan senyum yang sangat manis.
Radom tersenyum rakus membayangkannya.
“Ah! Kamu betul! Aku akan meminta kekuasaan tak terbatas. Lalu, aku jadi
kuat dan bisa mengalahkanmu, membebaskan peri-peri yang kau tawan!” ucap Radom
bersemangat. “Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui!”
“Sayangnya tidak bisa, Radom,” sahut Peri Gwenda. “Permintaan kekuasaan tak
terbatasmu akan mengabulkan semuanya kecuali untuk satu permintaan yang tadinya
akan kau minta di awal perjalanan. Tujuan awalmu, kan, mengalahkan aku supaya
bisa membebaskan Peri Hana. Tetapi, kalau cuman meminta mengalahkan aku, kau
sendiri tidak dapat apa-apa, lo.”
“Oooh…” Radom terdiam.
“Begini saja. Kau minta kekuasaan tak terbatas, lalu kita berdua
menggabungkan kekuatan untuk menguasai dunia peri dan dunia manusia. Tenang
saja, Hana, sahabatmu, akan kubebaskan!” tawar Peri Gwenda, lagi-lagi dengan
senyuman manis.
Radom diam. Berusaha berpikir jernih. Namun, sulit sekali. Semua terasa
berputar-putar di kepalanya. Radom merasa amat lelah. Betapa inginnya
Radom menyelesaikan semuanya dan hidup enak selama-lamanya setelah ini.
Tiba-tiba usul Peri Gwenda tampak sangat menarik.
“Bagaimana, Radom?” tanya Peri Gwenda lagi.
Radom tersenyum. Dia telah memutuskan. Radom mulai menggerakkan tangan
menyatukan kelima potongan liontin. Liontin itu bergabung dengan mudah. Indah
sekali dan bersinar keemasan. Radom membuka mulut untuk mengucapkan
permintaannya.
Radom menggerakkan tangannya. Kelima potongan liontin menyatu dengan mudah,
menyebarkan sinar keemasan yang indah. Itulah liontin pusaka kerajaan peri.
Radom membuka mulut,
“Aku, Grovel Radom Bodbrittle dari Desa Marygold, meminta liontin pusaka
kerajaan peri untuk mengubah hati Peri Gwenda menjadi baik, tidak iri lagi,
bersedia membebaskan Peri Narelia, Peri Hana, dan Peri Gania.”
Sriiiing… Liontin bersinar semakin terang dan menyinari Peri Gwenda. Semua
semak di sekitar mereka berbunga cantik dan mewangi semerbak, burung-burung
berkicauan, angin bertiup lembut, gemericik air di kejauhan membuat suasana
semakin indah.
Triiing… Peri Gania muncul. Triiiing… Peri Hana muncul.
“Radom! Terima kasih, ya!” seru Peri Hana dan Peri Gania. Wajah mereka
berdua tampak sangat bersemangat.
Triiiing… Peri Narelia, sang Ratu Peri, muncul.
Peri Narelia sangat cantik, lembut, dan anggun. Ada pancaran pelangi
dari matanya. Rambutnya panjang terurai, dihiasi mahkota sulur yang berkilauan.
Gaunnya putih indah dengan kalung api abadi. Ia memakai gelang dengan botol
yang berisi delapan tetes air. Di tangannya ada setangkai tongkat kayu emas. Ia
berjalan di atas pusaran angin.
“Terima kasih telah menyelamatkan kami, Radom,” Peri Narelia tersenyum
hangat.
Peri Gwenda di sampingnya juga tersenyum dengan sangat tulus.
“Ibu, bolehkah sekarang aku menceritakan semuanya?” tanya Peri Hana dengan
tidak sabar.
Peri Narelia mengangguk.
“Radom, sebenarnya ini semua pelajaran buat kamu. Peri Gwenda enggak
benar-benar jahat, kok!” ucap Hana mengagetkan Radom.
“Lo, apa maksudmu?!” tanya Radom bingung.
“Begini ceritanya Radom. Tetua-tetua peri meramalkan bahwa kamulah yang
nanti menjadi pasangan hidup peri putri mahkota Kerajan Peri, yaitu Peri Hana.
Jika ramalan itu betul, dan biasanya ramalan para tetua peri itu benar, maka
kamu akan menikah dengannya dan mendampinginya memerintah Kerajaan Peri,”
cerita Peri Narelia dengan lembut.
Peri Gwenda tersenyum dan ikut bercerita,
“Lalu, Peri Narelia dan aku pergi ke Desa Marygold untuk melihatmu.
Ternyata, apa yang kami lihat amat mengejutkan!”
“Iya, Radom. Mereka melihatmu suka berbuat semaumu, malas bekerja membantu ayah
dan ibumu, tidak peduli pada hutan, dan yang paling parah, kamu penakut!”
sambung Hana.
“Makanya kami semua lalu berkomplot dan membuat segala kejadian ini untuk
memberimu pelajaran agar kamu menjadi anak yang baik. Kami lalu mengujimu
dengan penawaran terakhir Peri Gwenda tadi,” kata Gania lagi.
“Ternyata, kamu hebat! Tadi aku tampak lemah. Kamu bisa saja asal merebut
potongan liontinku. Namun, tidak. Kamu berlutut dan memintanya baik-baik,” ucap
Haira.
“Aku juga senang sekali melihatmu berhasil melawan godaan kemalasanku,”
tambah Mikaryu sambil tersenyum lebar.
“Dan, biarpun kamu sering sekali ketakutan dan putus asa, kamu selalu
berhasil mengalahkan semua rasa itu,” kata Arapima.
“Iya, nyaris aku tidak tega menyuruhmu lompat dari puncak angin puting beliung.
Kamu seperti mau pingsan dan mengompol sekaligus!” sahut Gania sambil
cekikikan, disambut tawa semua peri lain.
“Kamu juga membuktikan bahwa kamu ternyata tidak haus kekuasaan. Godaan
untuk itu ada, tetapi kamu berhasil mengalahkannya dengan menolak
permintaanku,” Peri Gwenda menyimpulkan.
Wajah Radom memerah. Ini betul-betul kejutan!
“Astaga! Kalian ini benar-benar mengerjai aku! Harusnya kalian yang
dibilang bandel, bukan aku!” seloroh Radom sambil mengusap dahinya.
“He he he he… Maaf, Radom. Tapi, ini kan buat kamu juga,” sahut Peri Hana
sambil tertawa lebar, membuat Radom ikut tertawa.
Ah, tentu saja, kamu bisa menebak apa yang selanjutnya terjadi. Peri Hana
mengulurkan tangannya. Ia bahagia akan didampingi seorang manusia seperti
Radom. Radom juga berbahagia akan mendampingi Peri Hana yang baik hati. Dalam
hati, dia berjanji akan menjadi pemimpin Kerajaan Peri dengan sebaik-baiknya.
Dikutip dari Majalah Bobo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar